Hampir terlupakan beberapa pembesar RI yang beberapa banyak pengorbanannya terhadap Republik Indonesia tercinta ini, Oleh karenanya penulis mencoba menampilkan beberapa catatan mengenai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (secara bersama-sama
disebut lembaga kepresidenan Indonesia) memiliki sejarah yang hampir sama
tuanya dengan sejarah Indonesia. Dikatakan hampir sama sebab pada saat
proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan.
Barulah sehari kemudian, 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi yang
menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan (UUD 1945)dan lembaga kepresidenan
yang memimpin seluruh bangsa. Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan
yang bersejarah dimulai.
Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia memiliki
keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa memiliki ciri khas pada
sejarah pemimpin mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilalui lembaga
kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi. Selain itu
ini boleh dikatakan “hanya” diatur dalam konstitusi. Peraturan di bawah
konstitusi hanya mengatur sebagian kecil dan itupun letaknya tersebar dalam
berbagai jenis maupun tingkatan peraturan. Ini berbeda dengan lembaga
legislatif dan lembaga yudikatif yang memiliki undang-undang mengenai susunan
dan kedudukan lembaga itu sendiri. Lain daripada itu masalah tokoh dan
periodisasi juga memerlukan pencermatan lebih lanjut.
Soekarno
Soekarno atau lebih umum disebut Bung Karno, adalah tokoh
presiden pertama dari Indonesia. Jabatan pertama ini dimulai sejak 18 Agustus
1945. Bung Karno terpilih secara aklamasi dalam sidang PPKI atas usul Otto
Iskandardinata. Ia didampingi oleh wakil presiden Drs. Mohammad Hatta atau Bung
Hatta. Menurut aturan yang ada pada saat itu kekuasaan presiden sangat besar.
Seiring berjalannya waktu kekuasaan legislatif diserahkan kepada Badan Pekerja
Komite Nasional pada bulan Oktober 1945. Selanjutnya pada bulan November pada
tahun yang sama, Sukarno menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Kabinet Syahrir
I. Namun pada 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947,
Sukarno kembali mengambil alih kekuasaan saat terjadi keadaan darurat. Pada
29 Januari 1948 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil. Wakil
presiden Moh Hatta ditugasi untuk memimpin kabinet sehari-hari. Di sini dapat
dilihat bahwa presiden dan wakil presiden melakukan pembagian kekuasaan.
Sehingga wakil presiden tidak hanya duduk di bangku cadangan yang baru
diturunkan ketika pemain utama cedera.
Oleh sebab lembaga kepresidenan sebagian besar diatur dalam konstitusi, maka pembahasan sejarah lembaga ini akan difokuskan menurut pengaturan dalam konstitusi dan akan dibagi menurut masa berlakunya masing-masing konstitusi. Pembagian inipun tidak sepenuhnya lepas dari kesulitan di setidaknya dua kurun waktu. Pertama, periode antara tahun 1949–1950 ketika ada dua konstitusi yang berlaku secara bersamaan. Kedua, antara 1999–2002 ketika konstitusi mengalami pembongkaran ulang. Selain itu, karena dinamika yang masih terus berlangsung, maka pembahasan artikel hanya akan dibatasi sampai tahun 2008 atau setidak-tidaknya pertengahan 2009.
Sekilas ungkapan setiap periode (Menurut periode) Bung Karno.
Periode 1945–1950
Periode 18 Agustus 1945 – 15 Agustus 1950 adalah periode
berlakunya konstitusi yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945,
yang kelak kemudian disebut sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi menjadi
dua masa yaitu, pertama, antara 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 saat negara
Indonesia berdiri sendiri, dan kedua antara 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950
saat negara Indonesia bergabung sebagai negara bagian dari negara federasi
Republik Indonesia Serikat.
Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat
personal, terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden. Lembaga
ini dipilih oleh MPR dengan syarat tertentu dan memiliki masa jabatan selama 5
tahun. Sebelum menjalankan tugasnya lembaga ini bersumpah di hadapan MPR atau
DPR.
Menurut UUD 1945
Presiden memegang
kekuasaan pemerintahan
Presiden dibantu
oleh satu orang wakil presiden
Wakil presiden
menggantikan presiden jika presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
Presiden
menetapkan peraturan pemerintah
Presiden dibantu
oleh menteri
Presiden dapat
meminta pertimbangan kepada DPA
Presiden memegang
kekuasaan tertinggi atas Tentara Nasional Indonesia
Presiden
menyatakan perang dan membuat perdamaian serta perjanjian dengan negara lain
atas persetujuan DPR
Presiden
menyatakan keadaan bahaya
Presiden mengangkat
dan menerima misi diplomatik
Presiden memberi
grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi
Presiden memberi
gelar dan tanda kehormatan
Presiden memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR
Presiden berhak
memveto RUU dari DPR
Presiden berhak
mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam keadaan
mendesak.
Dr. Ir. Soekarno, Presiden Indonesia 1945-1949 dan
1950-1967; Presiden RIS 1949-1950
Pada 18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, presiden dan
wakil presiden dipilih oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan presiden
sangat besar karena seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu
terbentuk, dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan kepada presiden untuk mengatur
dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan UUD 1945.
Dengan demikian tidaklah mengherankan jika hanya beberapa bulan pemerintahan, KNIP yang menjadi
pembantu presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA meminta
kekuasaan yang lebih. Hal itu kemudian direspon oleh lembaga kepresidenan
dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara dan membentuk UU
melalui Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945.
Kurang dari sebulan, kekuasaan presiden berkurang dengan terbentuknya Kabinet
Syahrir I yang tidak lagi bertanggung jawab kepadanya melainkan kepada Badan
Pekerja KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika keadaan darurat, 29 Juni 1946
– 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, presiden mengambil alih
kekuasaan lagi. Begitu pula antara 29 Januari 1948 – 27 Desember 1949 kabinet
kembali bersifat presidensial (bertanggung jawab kepada presiden).
Saat pemerintahan, termasuk di dalamnya lembaga
kepresidenan, di Yogyakarta lumpuh dan tidak dapat menjalankan tugasnya saat
Agresi Militer Belanda II. Sementara pada saat yang sama, atas dasar mandat
darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di pedalaman Sumatera (22 Desember
1948 – 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang sah. Kondisi inilah yang
menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab
pemerintahan darurat itupun memiliki pimpinan pemerintahan (atau lembaga
kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering
menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan mengenai status pemerintah
darurat dan status ketua pemerintah darurat.
Bagi sebagian pihak, PDRI dan juga Ketua Pemerintahan
Darurat adalah penerima tongkat estafet pemerintahan dan kepemimpinan nasional
saat pemerintahan di ibukota tertawan musuh. Oleh karena itu kedudukannya tidak
bisa diabaikan. Apalagi pada 13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat Syafruddin
Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat kepada Wakil Presiden
Mohammad Hatta yang pulang dari tawanan musuh. Namun bagi pihak lain, tidak
mundurnya presiden dan wakil presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet
pemerintahan dan kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh Soekarno dan Mohammad
Hatta yang tertawan. Apalagi perundingan-perundingan, seperti Perjanjian
Roem-Royen, dilakukan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan tertawan
bukan dengan pemerintah darurat.
Periode 1949–1950
Negara Federasi Republik Indonesia Serikat 1949-1950
Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950, RI
bergabung dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat dengan kedudukan
sebagai negara bagian. Hal ini mengakibatkan berlakunya 2 konstitusi secara
bersamaan di wilayah negara bagian RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada
27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno telah menyerahkan secara resmi kekuasaan
pemerintahan RI kepada Assaat sebagai Pemangku Jabatan Presiden.
Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat
personal terdiri atas seorang presiden. Presiden dipilih oleh Dewan Pemilih
(Electoral College) yang terdiri atas utusan negara-negara bagian dengan
syarat-syarat tertentu. Sebelum menjalankan tugasnya, presiden bersumpah
dihadapan Dewan Pemilih.
Berbeda dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur kedudukan
dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga
kepresidenan secara lebih rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS,
hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu
bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal. Menurut Konstitusi RIS (secara
khusus[2]):
Presiden
berkedudukan sebagai kepala negara
Presiden merupakan
bagian dari pemerintah [pasal 68 (1) dan (2), 70, 72 (1)];
Presiden tidak
dapat diganggu-gugat dan segala pertanggung jawaban berada di tangan kabinet
[pasal 74 (4), 118 (2), dan 119];
Presiden dilarang:
(a). rangkap jabatan dengan jabatan apapun baik di dalam ataupun di luar
federasi, (b). turut serta atau menjadi penanggung perusahaan yang diadakan
negara federal maupun negara bagian, (c). dan mempunyai piutang atas tanggungan
negara [pasal 79 (1), (2), dan (3)]. Larangan (b) dan (c) tetap berlaku selama
tiga tahun setelah presiden meletakkan jabatannya [pasal 79 (4)];
Presiden maupun
mantan presiden diadili oleh Mahkamah Agung atas pelanggaran jabatan atau
pelanggaran lainnya yang dilakukan dalam masa jabatannya [pasal 148 (1)]
Hal keuangan
Presiden diatur dalam UU federal [pasal 78];
Presiden dengan
persetujuan Dewan Pemilih membentuk Kabinet Negara [pasal 74 (1) – (4)];
Presiden
menyaksikan pelantikan kabinet [pasal 77];
Presiden menerima
pemberitahuan kabinet mengenai urusan penting [pasal 76 (2)];
Presiden
menyaksikan pelantikan anggota Senat [pasal 83];
Presiden
mengangkat ketua Senat [pasal 85 (1)] dan menyaksikan pelantikannya [pasal 86];
Presiden
menyaksikan pelantikan anggota DPR [pasal 104];
Presiden
mengesahkan pemilihan ketua dan wakil-wakil ketua DPR [pasal 103 (1)];
Presiden bertindak
secara administratif/protokoler dalam urusan legislatif [pasal 128 (1) dan (2),
133-135; 136 (1) dan (2), 137, dan 138 (3)];
Presiden bertindak
secara administratif/protokoler dalam urusan konstitutif [pasal 187 (1) dan 189
(3)].
Presiden dengan
pertimbangan Senat mengangkat Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Mahkamah
Agung untuk pertama kalinya [pasal 114 (1)] dan memberhentikan mereka atas
permintaan sendiri [pasal 114 (4)];
Presiden dengan
pertimbangan Mahkamah Agung memberi grasi dan amnesti [pasal 160];
Presiden dengan
pertimbangan Senat mengangkat Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Dewan
Pengawas Keuangan untuk pertama kalinya [pasal 116 (1)] dan memberhentikan
mereka atas permintaan sendiri [pasal 116 (4)];
Presiden
mengadakan dan mengesahkan perjanjian internasional atas kuasa UU federal
[pasal 175];
Presiden
mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 178];
Presiden memegang
kekuasaan militer [pasal 183 (1) dan (3)];
Presiden
memberikan tanda kehormatan menurut UU federal [pasal 126].
Selain bertindak secara khusus, sebagai bagian dari
pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler[3], presiden, menurut
konstitusi, antara lain:
Menjalankan
pemerintahan federal [pasal 117];
Mendengarkan
pertimbangan dari Senat [pasal 123 (1) dan (4);
Memberi keterangan
pada Senat [pasal 124];
Mengesahkan atau
memveto UU yang telah disetujui oleh DPR dan Senat [pasal 138 (2)];
Mengeluarkan
peraturan darurat (UU Darurat) dalam keadaan mendesak [pasal 139];
Mengeluarkan
peraturan pemerintah [pasal 141];
Memegang urusan
hubungan luar negeri [pasal 174, 176, 177];
Menyatakan perang
dengan persetujuan DPR dan Senat [pasal 183];
Menyatakan keadaan
bahaya [pasal 184 (1)];
Mengusulkan
rancangan konstitusi federal kepada konstituante [pasal 187 (1) dan (2)], dan
mengumumkan konstitusi tersebut [pasal 189 (2) dan (3)] serta mengumumkan
perubahan konstitusi [pasal 191 (1) dan (2)].
Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat
pendek. RI dan RIS mencapai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke
bentuk negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di hadapan sidang DPR dan Senat,
diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia menggantikan negara
federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah menjadi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (yang selanjutnya dikenal
sebagai UUDS 1950) berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga,
Pemangku Jabatan Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan
pemerintahan RI kepada Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia.
Periode 1950–1959
Pada 15 Agustus 1950 Sukarno secara resmi telah menjadi
presiden negara kesatuan yang pertama setelah menerima kekuasaan dari dua
pemerintahan RIS dan RI (Yogyakarta). Jabatan ini dapat dihitung sebagai
jabatan ketiga bagi Sukarno. Keesokan hari tanggal 16 Agustus 1950, Presiden
melantik DPR Sementara Negara Kesatuan, hasil penggabungan dari DPR (RIS),
Senat (RIS), Badan Pekerja KNI Pusat(RI-Yogyakarta), dan DPA (RI-Yogyakarta).
Sesuai UUDS 1950, Sukarno mengangkat Hatta sebagai Wakil Presiden atas usulan
dari DPR Sementara. Bagi Hatta jabatan ini dapat dihitung sebagai masa jabatan
kedua. Sesuai UUDS 1950 pula lembaga ini berulangkali membentuk kabinet. Sampai
awal 1956 lembaga kepresidenan telah membentuk setidaknya enam kabinet dan menerima
pengembalian mandat pemerintahan sebanyak lima kali. Pada akhir tahun 1956,
tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden.
Mulai saat itu, lembaga kepresidenan hanya “dihuni” oleh seorang presiden tanpa
wakilnya. UUDS 1950 tidak mengatur pemilihan wakil presiden dan menyerahkannya
pada konstitusi yang akan disusun oleh Konstituante. Keadaan yang kian genting
menyebabkan Sukarno mengeluarkan SOB pada 1957. Perlahan namun pasti
kekuasaan Sukarno sebagai Penguasa Angkatan Perang meningkat. Puncaknya Sukarno
mengeluarkan dekret untuk memberlakukan kembali konstitusi yang pernah
digunakan, UUD 1945, serta membubarkan konstituante yang tak kunjung selesai
menyusun konstitusi tetap.
Sukarno tetap menjabat presiden berdasar aturan peralihan
pasal II UUD 1945. Demikian pula DPR Sementara negara kesatuan berubah fungsi
menjadi DPR Peralihan sampai ditetapkan DPR yang baru menurut UUD 1945.
Jabatan ini dapat dihitung sebagai jabatan presiden peralihan atau dapat
dihitung sebagai masa jabatan keempat bagi Sukarno. Sementara itu, aturan
peralihan pasal III dan IV UUD 1945 sudah tidak dapat digunakan lagi. Presiden
tidak didampingi oleh wakil presiden maupun Komite Nasional menyebabkan seluruh
kekuasaan pemerintahan negara berpusat pada presiden. Tidak satu pun yang dapat
bermain-main dengan kekuasaan presiden. DPR Peralihan pun dibubarkan pada 24
Juni 1960 karena tidak menyetujui RAPBN yang diajukan Sukarno Sebagai
gantinya Sukarno membentuk DPR Gotong Royong. Sesuai Penpres No 14 tahun
1960, Presiden dapat membuat produk legislatif jika tidak terjadi kesepakatan
dengan parlemen. Pada Desember 1960 Sukarno membentuk MPR Sementara untuk
melaksanakan ketentuan dalam UUD 1945. Peranan Sukarno semakin besar dengan
mengeluarkan PP No 32/1964 yang berisi DPR-GR merupakan pembantu
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi dalam bidang legislatif. Melalui UU No 19
tahun 1964 Presiden diberi kewenangan untuk mencampuri keputusan peradilan.
MPRS bentukan Sukarno mengeluarkan sebuah produk konstitusi
semu untuk menetapkan ide-ide Pemimpin Besar Revolusi dan akhirnya menetapkan
Sukarno sebagai presiden definitif dengan masa jabatan seumur hidup pada 1963
tanpa didampingi wakil presiden. Lembaga ini juga memberi kekuasaan secara
penuh pada Sukarno untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara.
Periode ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kelima bagi Sukarno. Pada
periode ini Sukarno menggunakan gelar rangkap “Presiden/Pemimpin Besar
Revolusi/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS” lebih banyak dari gelar yang
diberikan konstitusi “Presiden”. Perubahan cuaca perpolitikan terjadi secara
cepat pada tahun 1966-1968 sebagai akibat badai politik tahun 1965. Periode ini
merupakan kondisi terburuk yang dialami sang proklamator. Pada tahun 1966
berbagai atribut masa kejayaan mulai ditanggalkan oleh MPRS. Mulai dari
pemilihan/penunjukkan wakil presiden dan pengangkatan pejabat presiden,
pengertian mandataris MPR Sementara, Pemimpin Besar Revolusi, dan berpuncak
pada peninjauan kembali pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup.
Akhirnya pada 22 Februari 1967 Sukarno “menyerahkan kekuasaan” kepada pejabat
presiden dan dilegalisasi dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang
Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, presiden
Indonesia dimakzulkan untuk pertama kalinya secara resmi pada 12 Maret
1967.
Bung Karno dan Aksi militer Belanda
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan aksi militer
menyerang ibukota Yogyakarta. Dalam peristiwa ini Sukarno dan Hatta ikut
tertawan sehingga praktis pemerintahan lumpuh walau tidak bubar secara resmi.
Namun sebelum tertawan, presiden dan wakilnya sempat mengirimkan mandat kepada
Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera untuk
membentuk pemerintahan, dan mandat kepada Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis
yang berada di India untuk membentuk pemerintahan pengasingan jika usaha
Syafruddin membentuk pemerintahan gagal dilakukan. Syafruddin berhasil membentuk
pemerintahan darurat di Sumatera pada 22 Desember 1948. Namun Belanda lebih
memilih berunding dengan pemerintahan tertawan. Hal inilah yang menimbulkan
keadaan pemerintahan ganda. Sampai akhirnya pada 13 Juli 1949, setelah melalui
proses yang berliku, Syafruddin mengembalikan mandatnya kepada Moh. Hatta. Pada
16 Desember 1949 Sukarno terpilih sebagai presiden negara federasi Republik
Indonesia Serikat[9]. Pada saat yang hampir bersamaan Hatta terpilih sebagai
perdana menteri negara federasi. UUDS RIS yang melarang rangkap jabatan
bagi kepala negara federal dan perdana menteri federal dengan jabatan apapun,
mengharuskan Sukarno dan Hatta untuk meletakkan jabatan bersama-sama. Keadaan
ini diantisipasi dengan keluarnya UU No 7 Tahun 1949. Dalam UU ini diatur
apabila presiden dan wakil presiden berhalangan secara bersama-sama maka ketua
parlemen diangkat menjadi Pemangku Jabatan Presiden. Akhirnya pada 27 Desember
1949 Sukarno berhenti sebagai presiden dan menyerahkan jabatan lembaga
kepresidenan kepada Ketua Badan Pekerja KNI Pusat, Mr. Asaat Datuk Mudo.
Pada 27 Desember 1949 Sukarno memulai masa jabatannya yang
pertama sebagai presiden negara federal Indonesia. Tidak banyak yang terekam
dalam jabatan presiden federal ini yang sangat singkat ini. Sebuah persetujuan
antara pemerintah federal RIS (yang bertindak atas namanya sendiri dan atas
mandat penuh dari pemerintah negara bagian yang tersisa, pemerintah negara
bagian Negara Indonesia Timur dan pemerintah negara bagian Negara Sumatera
Timur) dan pemerintah negara bagian Republik Indonesia (yang beribukota di
Yogyakarta) memilih Sukarno sebagai presiden negara kesatuan yang akan dibentuk
dari penggabungan RIS dengan RI (Yogyakarta). Jabatan presiden federal dipangku
Sukarno sampai tanggal 15 Agustus 1950. Jabatan ini dapat dihitung sebagai masa
jabatan kedua bagi Sukarno. Pada tanggal itu presiden federal memproklamasikan
berdirinya negara kesatuan dihadapan sidang gabungan DPR dan Senat di Jakarta.
Sore harinya Bung Karno terbang ke Yogyakarta untuk membubarkan pemerintah RI
(Yogyakarta) dan menerima penyerahan kekuasaan dari Pemangku Jabatan Presiden.
Setelah kembali ke Jakarta pada hari yang sama Sukarno menerima penyerahan
kekuasaan dari perdana menteri RIS.
ISKS Hamengku Buwono IX, Wakil Presiden Indonesia 1973-1978
Gambar diatas menunjukkan sebuah arti bahwa sebenarnya Soekarno memberikan roh bagi bangsa agar senantiasa dekat kepadaNya,hal ini tertuang pada pembukaan UUD 45
Alenia Ketiga
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”
pahlawan-revolusi-pancasila-saktiPengakuan ‘nilai religius’ dalam pernyataan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” mengandung makna bahwa Negara Indonesia mengakui nilai-nilai religious, amerupakan dasar dari hokum positif negara maupun dasar moral negara. Pengakuan ‘nilai moral’ yang terkandung dalam pernyataan “didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas” mengandung makna bahwa negara dan bangsa Indonesia mengakui nilai-nilai moral dan hak kodrat segala bangsa. Pernyataan kembali ke proklamasi dalam kalimat ”…maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Hal ini dimaksudkan sebagai penegasan dan rincian lebih lanjut naskah Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sebuah cita-cita yang luhur untuk selalu mendekatkan diri padaNya sebagai kemerdekaan adalah ““Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” bukan hadiah dari Jepang atau lainnya,
Seiring perjalanan waktu, maka usaha demi usaha sebagai bentuk menggapai tujuan negara, Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia cover_soekarno(NKRI) terdapat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat yaitu “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial …”. Dari rumusan tersebut, tersirat adanya tujuan nasional/Negara yang ingin dicapai sekaligus merupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh Negara, yaitu:
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
Memajukan kesejahteraan umum;
Mencerdaskan kehidupan bangsa;
Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.
Begitu besar perjuangan Bung Karno sehingga senantiasa kikatakan bahwa perjuangan Bung Karno tidak dapat diungkapkan nilainya dengan ucaapan apapun. Termasuk salah satunya adalah dengan gagah berani bersedia mengumandangkan proklamsi kemerdekaan Republik Indonesia. Suatu pertanda bahwa rakyat Indonesia terbebas dari belenggu penjajahan asing.
Sekalipun demikian Seiring dengan berjalannya waktu, begitupula dalam perjalanannya sebuah peristiwa yang kelam, yang arang tak dapat ditolak dengan peristiwa itu Soekarno ter’jungkal’ dari kepresidenan.Peristiwa tersebut adalah G30SPKI, mengutip wikipedia,
Soekarno
Soekarno atau lebih umum disebut Bung Karno, adalah tokoh presiden pertama dari Indonesia. Jabatan pertama ini dimulai sejak 18 Agustus 1945. Bung Karno terpilih secara aklamasi dalam sidang PPKI atas usul Otto Iskandardinata. Ia didampingi oleh wakil presiden Drs. Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Menurut aturan yang ada pada saat itu kekuasaan presiden sangat besar. Seiring berjalannya waktu kekuasaan legislatif diserahkan kepada Badan Pekerja Komite Nasional pada bulan Oktober 1945. Selanjutnya pada bulan November pada tahun yang sama, Sukarno menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Kabinet Syahrir I. Namun pada 29 Juni 1946 – 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947 – 3 Juli 1947, Sukarno kembali mengambil alih kekuasaan saat terjadi keadaan darurat. Pada 29 Januari 1948 Sukarno kembali membentuk kabinet presidensil. Wakil presiden Moh Hatta ditugasi untuk memimpin kabinet sehari-hari. Di sini dapat dilihat bahwa presiden dan wakil presiden melakukan pembagian kekuasaan. Sehingga wakil presiden tidak hanya duduk di bangku cadangan yang baru diturunkan ketika pemain utama cedera.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan aksi militer menyerang ibukota Yogyakarta. Dalam peristiwa ini Sukarno dan Hatta ikut tertawan sehingga praktis pemerintahan lumpuh walau tidak bubar secara resmi. Namun sebelum tertawan, presiden dan wakilnya sempat mengirimkan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera untuk membentuk pemerintahan, dan mandat kepada Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis yang berada di India untuk membentuk pemerintahan pengasingan jika usaha Syafruddin membentuk pemerintahan gagal dilakukan. Syafruddin berhasil membentuk pemerintahan darurat di Sumatera pada 22 Desember 1948. Namun Belanda lebih memilih berunding dengan pemerintahan tertawan. Hal inilah yang menimbulkan keadaan pemerintahan ganda. Sampai akhirnya pada 13 Juli 1949, setelah melalui proses yang berliku, Syafruddin mengembalikan mandatnya kepada Moh. Hatta. Pada 16 Desember 1949 Sukarno terpilih sebagai presiden negara federasi Republik Indonesia Serikat. Pada saat yang hampir bersamaan Hatta terpilih sebagai perdana menteri negara federasi. UUDS RIS yang melarang rangkap jabatan bagi kepala negara federal dan perdana menteri federal dengan jabatan apapun, mengharuskan Sukarno dan Hatta untuk meletakkan jabatan bersama-sama. Keadaan ini diantisipasi dengan keluarnya UU No 7 Tahun 1949. Dalam UU ini diatur apabila presiden dan wakil presiden berhalangan secara bersama-sama maka ketua parlemen diangkat menjadi Pemangku Jabatan Presiden. Akhirnya pada 27 Desember 1949 Sukarno berhenti sebagai presiden dan menyerahkan jabatan lembaga kepresidenan kepada Ketua Badan Pekerja KNI Pusat, Mr. Asaat Datuk Mudo.
Pada 27 Desember 1949 Sukarno memulai masa jabatannya yang pertama sebagai presiden negara federal Indonesia. Tidak banyak yang terekam dalam jabatan presiden federal ini yang sangat singkat ini. Sebuah persetujuan antara pemerintah federal RIS (yang bertindak atas namanya sendiri dan atas mandat penuh dari pemerintah negara bagian yang tersisa, pemerintah negara bagian Negara Indonesia Timur dan pemerintah negara bagian Negara Sumatera Timur) dan pemerintah negara bagian Republik Indonesia (yang beribukota di Yogyakarta) memilih Sukarno sebagai presiden negara kesatuan yang akan dibentuk dari penggabungan RIS dengan RI (Yogyakarta). Jabatan presiden federal dipangku Sukarno sampai tanggal 15 Agustus 1950. Jabatan ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kedua bagi Sukarno. Pada tanggal itu presiden federal memproklamasikan berdirinya negara kesatuan dihadapan sidang gabungan DPR dan Senat di Jakarta. Sore harinya Bung Karno terbang ke Yogyakarta untuk membubarkan pemerintah RI (Yogyakarta) dan menerima penyerahan kekuasaan dari Pemangku Jabatan Presiden. Setelah kembali ke Jakarta pada hari yang sama Sukarno menerima penyerahan kekuasaan dari perdana menteri RIS.
ISKS Hamengku Buwono IX, Wakil Presiden Indonesia 1973-1978
Pada 15 Agustus 1950 Sukarno secara resmi telah menjadi presiden negara kesatuan yang pertama setelah menerima kekuasaan dari dua pemerintahan RIS dan RI (Yogyakarta). Jabatan ini dapat dihitung sebagai jabatan ketiga bagi Sukarno. Keesokan hari tanggal 16 Agustus 1950, Presiden melantik DPR Sementara Negara Kesatuan, hasil penggabungan dari DPR (RIS), Senat (RIS), Badan Pekerja KNI Pusat(RI-Yogyakarta), dan DPA (RI-Yogyakarta). Sesuai UUDS 1950, Sukarno mengangkat Hatta sebagai Wakil Presiden atas usulan dari DPR Sementara. Bagi Hatta jabatan ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kedua. Sesuai UUDS 1950 pula lembaga ini berulangkali membentuk kabinet. Sampai awal 1956 lembaga kepresidenan telah membentuk setidaknya enam kabinet dan menerima pengembalian mandat pemerintahan sebanyak lima kali. Pada akhir tahun 1956, tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Mulai saat itu, lembaga kepresidenan hanya “dihuni” oleh seorang presiden tanpa wakilnya. UUDS 1950 tidak mengatur pemilihan wakil presiden dan menyerahkannya pada konstitusi yang akan disusun oleh Konstituante. Keadaan yang kian genting menyebabkan Sukarno mengeluarkan SOB pada 1957. Perlahan namun pasti kekuasaan Sukarno sebagai Penguasa Angkatan Perang meningkat. Puncaknya Sukarno mengeluarkan dekret untuk memberlakukan kembali konstitusi yang pernah digunakan, UUD 1945, serta membubarkan konstituante yang tak kunjung selesai menyusun konstitusi tetap.
Sukarno tetap menjabat presiden berdasar aturan peralihan pasal II UUD 1945. Demikian pula DPR Sementara negara kesatuan berubah fungsi menjadi DPR Peralihan sampai ditetapkan DPR yang baru menurut UUD 1945. Jabatan ini dapat dihitung sebagai jabatan presiden peralihan atau dapat dihitung sebagai masa jabatan keempat bagi Sukarno. Sementara itu, aturan peralihan pasal III dan IV UUD 1945 sudah tidak dapat digunakan lagi. Presiden tidak didampingi oleh wakil presiden maupun Komite Nasional menyebabkan seluruh kekuasaan pemerintahan negara berpusat pada presiden. Tidak satu pun yang dapat bermain-main dengan kekuasaan presiden. DPR Peralihan pun dibubarkan pada 24 Juni 1960 karena tidak menyetujui RAPBN yang diajukan Soekarno. Sebagai gantinya Sukarno membentuk DPR Gotong Royong. Sesuai Penpres No 14 tahun 1960, Presiden dapat membuat produk legislatif jika tidak terjadi kesepakatan dengan parlemen. Pada Desember 1960 Sukarno membentuk MPR Sementara untuk melaksanakan ketentuan dalam UUD 1945. Peranan Soekarno semakin besar dengan mengeluarkan PP No 32/1964 yang berisi DPR-GR merupakan pembantu Presiden/Pemimpin Besar Revolusi dalam bidang legislatif. Melalui UU No 19 tahun 1964 Presiden diberi kewenangan untuk mencampuri keputusan peradilan.
MPRS bentukan Soekarno mengeluarkan sebuah produk konstitusi semu untuk menetapkan ide-ide Pemimpin Besar Revolusi dan akhirnya menetapkan Sukarno sebagai presiden definitif dengan masa jabatan seumur hidup pada 1963 tanpa didampingi wakil presiden. Lembaga ini juga memberi kekuasaan secara penuh pada Soekarno untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara. Periode ini dapat dihitung sebagai masa jabatan kelima bagi Sukarno. Pada periode ini Sukarno menggunakan gelar rangkap “Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS” lebih banyak dari gelar yang diberikan konstitusi “Presiden”. Perubahan cuaca perpolitikan terjadi secara cepat pada tahun 1966-1968 sebagai akibat badai politik tahun 1965. Periode ini merupakan kondisi terburuk yang dialami sang proklamator. Pada tahun 1966 berbagai atribut masa kejayaan mulai ditanggalkan oleh MPRS. Mulai dari pemilihan/penunjukkan wakil presiden dan pengangkatan pejabat presiden, pengertian mandataris MPR Sementara, Pemimpin Besar Revolusi, dan berpuncak pada peninjauan kembali pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Akhirnya pada 22 Februari 1967 Sukarno “menyerahkan kekuasaan” kepada pejabat presiden dan dilegalisasi dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, presiden Indonesia dimakzulkan untuk pertama kalinya secara resmi pada 12 Maret 1967.
Referensi
Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia 1945
Perubahan Pertama
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan Kedua
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan Ketiga
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan Keempat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Konstitusi
Republik Indonesia Serikat 1949
Undang-Undang
Republik Indonesia Serikat Nomor 7 Tahun 1950 (UUD Sementara 1950)
Ketetapan-ketetapan MPRS dan MPR
UU 7/1949
[RI-Yogyakarta]
Lembaran Negara
Tahun 1958
Ide Anak Agung Gde
Agung (1985) Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Saafroedin Bahar
et. al. (Ed). (1993) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) 29 Mei 1945 – 19 Agustus 1945. Edisi II. Cetakan 4. Jakarta: Sekretariat
Negara RI.
Saafroedin Bahar
et. al. (Ed). (1995) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Edisi III. Jakarta: Sekretariat Negara
RI.
Setneg (1997) 30
Tahun Indonesia Merdeka. Edisi 3. Jakarta: Setneg
Setneg (1997) 40
Tahun Indonesia Merdeka. Edisi 2. Jakarta: Setneg
Setneg (1997) 50
Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Setneg
Toto Pribadi et.
al. (2009) Sistem Politik Indonesia. Edisi 1. Cetakan 3. Jakarta: Universitas
Terbuka
Daftar Presiden
Filipina
Daftar Presiden
Amerika Serikat
Office of the
President of the Philippines
No comments:
Post a Comment