Thursday, November 17, 2016

SOSIALISASI POLITIK DAN KOMUNIKASI POLITIK |pembelajaran PPKN

SOSIALISASI POLITIK DAN KOMUNIKASI POLITIK

Berawal dari pengertian sosialisasi politik secara sederhana dan Pengertian komunikasi politik secara sederhana.
      Pengertian sosialisasi politik itu secara sederhana, merupakan proses dimana individu memperoleh informasi, kepercayaan, sikap, dan menilai itu dapat membantu mereka untuk memahami aktivitas suatu sistem politik, dan sebagai bagian dari proses, yang mengadopsisebagian dari kepercayaan, sikap dan nilai-nilai. Pengarang menunjukkan fakta pentingnya proses penanaman kepercayaan dan nilai-nilai dariorang-orang menjadi basis untuk suatu kultur politis masyarakat, dan kultur seperti itu menggambarkan parameter kehidupan politis dan tindakan pemerintah atau Negara. Tetapi sebagian ahli membantah bahwa orang-orang itu mempunyai latar belakang sosial serupa, tingkatan pendidikan atau pendapatan, suatu agama umum, jenis kelamin atau persaingan ras yang mempunyai pandangan politis yang sebagian besar sama; karenanya, sosialisasi politis merupakan sifat yang sudah melekat pada nilai-nilai tersebut dibandingkan dengan suatu proses.
Pengertian sosialisasi politik menurut beberapa ahli:  S.N. Eisenstadt (1956), Sosialisasi adalah suatu proses komunikasi yang dipelajari dari manusia lain dengan siapa individu secara bertahap memasuki beberapa jenis relasi-relasi umum.  David F. Aberle (1961), Sosialisasi adalah pola-pola mengenai aksi sosial atau aspek-aspek tingkah laku, yang ditanamkan kepada individu tentang pengetahuan dan ketrampilan, motif-motif dan sikap-sikap dalam menampilakan peranan-peranan sepanjang hidupnya.  Irvin L. Child (1970), Sosialisasi adalah suatu proses dimana individu dilahirkan cukup banyak memiliki potensi tingkah laku, dituntut untuk mengembangkan tingkah laku aktualnya yang ditasai di dalam satu jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan standar-standar dari kelompoknya.
      Menurut  Gabriel A. Almond, Sosialisasi politik menunjukkan pada proses dimana sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya. Sedangkan  Irvin L. Child, Sosialisasi politik adalah segenap proses dengan mana individu, yang dilahirkan dengan banyak sekali jajaran potensi tingkah laku, dituntut untuk mengembangkan tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan standar-standar dari kelompoknya. Seiring dengan ungkapan Richard E. Dawson dkk., Sosialisasi politik dapat dipandang sebagai suatu pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan politik dari orang tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi yang lainnya kepada warga negara baru dan mereka yang menginjak dewasa. Begitupula Denis Kavanagh, Sosialisasi politik merupakan suatu proses dimana seseorang mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang politik.
     Hyman (1959) Sosialisasi Politik adalah cara-cara belajar seseorang terhadap pola-pola sosial yang berkaitan dengan posisi-posisi kemasyarakatannya.  Almond & Powell (1966) Sosialisasi Politik adalah suatu proses dimana sikap dan niali-nilai politik ditanamkan kepada anak-anak sampai mereka dewasa, dan orang dewasa direkrut ke dalam peranan-peranan tertentu.  Michael Rush & Philip Althoff (2007), Sosilisasi Politik adalah suatu proses bagaimana memperkenalkan sistem politik pada seseorang, serta bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik.  
Dari beberapa pengertian tersebut maka saatnya untuk disimpulkan bahwa sosialisasi politik adalah merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menyampaikan makna serta pemahanan terhadap maksud dari pada kegiatan politik tertentu. Agar harapannya dapat secara berkelanjutan.
Beberapa segi penting sosialisasi politik :  Secara fundamental merupakan proses hasil belajar, belajar dari pengalaman/ pola-pola aksi.  Memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dan kelompok dalam batas-batas yang luas, dan lebih khusus lagi, berkenaan pengetahuan atau informasi, motif-motif (nilai-nilai) dan sikap-sikap.  Tidak terbatas pada usia anak-anak dan remaja saja (walaupun periode ini paling penting), tetapi berlangsung sepanjang hidup.  Mrp prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial, baik secara implisit maupun eksplisit memberikan penjelasan mengenai tingkah laku sosial.
BEBERAPA ASPEK PENTING DARI KONSEP SOSIALISASi : 1. Sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar, yaitu belajar dari pengalaman dan menurut Aberle disebut “pola-pola aksi”. 2. Memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dalam batas-batas yang luas terutama berkenaan dengan pengetahuan, informasi, nilai-nilai dan sikap-sikap. 3. Sosialisasi merupakan proses berlanjut sepanjang hidup setiap individu.

Sosialisasi Politik ditentukan oleh : 1. Lingkungan Sosial 2. Kondisi Ekonomi 3. Aspek Kebudayaan 4. Pengalaman-Pengalaman Individu & Kepribadian
SOSIALISASI POLITIK KELUARGA SOSIALISASI POLITIK AGAMA & EKONOMI STRATIFIKASI SOSIAL
    Sosialisasi Politik a. Pengertian Sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Melalui sosialisasi, suatu kebudayaan dapat diwariskan kepada generasi berikut-nya. Ada 3 sifat dasar mengapa sosiali-sasi perlu : a. Manusia tidak akan bisa hidup tanpa bantuan orang lain. b. ”Secara ekstrim” manusia tidak punya naluri sehingga sebagian besar perilaku untuk kelangsungan hidupnya harus dipelajari. c. Manusia harus belajar mengendali-kan hubungan dgn sesamanya, yaitu hidup menurut nilai-nilai dan membi-na peranan bersama.
  
KONSEP SOSIALISASI POLITIK
Sosialisasi politik merupakan suatu proses bagaimana memperkenalkan system politik pada seseorang dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-reaksi terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik di tentukan oleh lingkungan social, ekonomi, dan kebudayaan di mana individu berada. Selain itu juga di tentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadiaannya.
Apabila ilmuwan politik kurang sekali memperhatikan sosialisasi plitik ataua mereka terlalu menerima sebagaimana adanya, para antropolog, psikolog – social dan sosiolog sudah lama mengetahui sebagai konsep yang penting dan dari disiplin. Ilmu inilah yang kemudian kita menyimpulkan taiga definisi awal mengenai sosialisasi, yaitu :

1. pola-pola mengenai aksi social atau aspek tingkah laku, yang menanamkan pada individu ketrampilan-ketrampilan [termasuk ilmu pengetahuan]. Motif dan sikap yang perlu untuk menampilkan peran yang sekarang atau yang tengah diantisipasikan [dan yang terus berkelanjutan] sepanjang kehidupan manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus terus dipelajari.
2. segenap proses yang mana individu, yang dilahirkan dengan sekali jajaran potensi tingkah laku, dituntut untuk mengembangkan tingkah laku actual yang di batasi di dalam satu jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan standar-standar dari kelompoknya.
3. komunikasi dengan dan dipelajari dari manusia lainnya, dengan siapa individu itu secara bertahap memiliki beberapa jenis relasi-relasi umum.
PERKEMBANGAN SOSIALISASI POLITIK DALAM KELUARGA PADA ANAK-NAKA & REMAJA  Easton & Dennis : ‘Children in the Political System’ (1953) mengemukakan ada 4 tahap perkembangan sosialisasi politik pada diri anak-anak & Remaja : 1. Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti : orang tua- anak; 2. Perkembangan perbedaan antara otoritas internal dan yang eksternal, yaitu antara di dalam lingkungan keluarga dengan di luar lingkungan keluarga seperti pejabat swasta dan pejabat pemerintah. 3. Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti : Kongres, Mahkamah Agung dan Pemilihan Umum. 4. Perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi tersebut.
SOSIALISASI POLITIK PADA ORANG DEWASA :  Proses peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja yang cukup benyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan akan berlanjut pada masa dewasa;  Kompleksitas sosialisasi politik akan diperbaharui melalui medium-medium lainnya, seperti : pekerjaan, kesenangan, agama dan media masa.  Pengetahuan, nilai-nilai dan sikap yang diperoleh seseorang selama masa kanak-kanak dan masa remaja akan diperbandingkan dengan pengalaman masa hidupnya semasa dewasa. Apabila dari hasil pengalaman hidup politiknya dirasakan cukup nyaman, orang dewasa cenderung memperkokoh tingkah laku politiknya (konservatif ).  Sebaliknya apabila dari hasil pengalaman hidup politiknya penuh dengan konflik, maka tingkah laku politiknya cenderung berubah secara radikal.

Sosialisasi politik selama kehidupan orang dewasa belum banyak diteliti orang, sekalipun terdapat beberapa pembuktian yang muncul dari studi-studi mengenai tingkah laku pemilihan/elektral, kesadaran klas, pengaruh dari situasi-situasi kerja dan perkembangan ideology. Walaupun demikian, setidak-tidaknya adalah mungkin untuk mengsugestikan, bahwa bidang-bidang mengenai sosialisasi orang dewasa itu adalah penting.
Pada penelitian tentang pemilihan umum lagi di tentukan hubungan antara pilihan paratai dengan ciri-ciri karakterristik para pemberi suara yang berkaitan dengan lingkungan dan pengalamannya. Penelitian Murphy dan Morris yang telah kami kemukakan juga berpendapat, bahwa para responden yang bekerja dibidang perdagangan. Keuangan dan rekaman lebih condong mengidetifikasikan diri sebagai golongan kelas menengah dan memilih republikasi ; sedangkan mereka yang bekerja di bidang pabrik, perumahan dan pemeliharaan lebih cenderung mengidentifikasikan diri sebagai kelas pekerja dan memilih partai demokrat.

SOSIALISASI POLITIK DALAM MASYARAKAT TOTALITER
Berdasarkan definisinya, Negara totliter itu berusaha untuk mengontrol semua aspek dari masyarakatnya, dan seperti yang diperhatikan oleh pidato-pidato Lenin dan Hitler, tekanan besar tdak boleh tidak di letakan pada proses sosialisasi pada umumnya dan sosialisasi politik pada khususnya. Ideologi Negara menjadi basis resmi bagi semua tindakan dan meliputi semua aktifitas. Sosialisasi politik ini bukannya dan tidak dapat di biarka untuk mencarai salurannya sendiri ; juga tidak dapat memberikan pengetahuan yang tidak terkontrol. Nilai-nilai dan sikap-sikap yang mungkin bisa menentang ideologi yang bersangkutan. Maka pikiran [jiwa] manusia itu harus direbut, di tuntun dan di kekang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dari Negara lewat wahana dari ideologinya. Maka masyarakat totaliter itu berbeda dengan masyarakat demokrasi modern dalam tingkat pengotrolan yang di laksanakan terhadap sosialisasi politik para anggota-anggotanya. Secara langsung atau tidak langsung, semua pemerintah berusaha untuk mensosialisasikan para anggota masyarakatnya sampai derajat-derajatnya yang berbeda, dengan jalan mengontrol informasinya; akan tetapi dalam masyarakat totaliter pengontrolan tersebut meliputi segala-galanya. Namun demikian, proses mendasar dari sosialisasi politik seperti perolehan orientasi-oreintasi politik dan pola tingkah laku itu dapat di terapkan baik pada masyarakat totaliter maupun pada masyarakat demokrasi modern ; akan tetapi titk berat penekanan di letakkan pada subjek-subjek khusus, agen-agen dan mekanisme dapat berbeda dalam jenis maupun efektivitasnya.

SOSIALISASI POLITIK DALAM MASYARAKAT PRIMITIF
Dalam masyarakat primitive peran sosialisasi pada umumnya tampak paling jelas. Khususnya dalam masyarakat yang tengah atau telah cukcup lama berdiri untuk menegakkan tradisi-tradisi kemasyarakatan yang kuat yang menetapkan struktur dan peranan-peranan masyarakat. Walaupun terdapat perbedaan dalam sosialisasinya, masyarakat sedemikian itu tidak mengenal diferensiasi seperti yang terdapat dalam masyarakat modern yang kompleks dan proses sosialisasinya di artikan dengan kesatuan intristik yang menekankan masalah ritual legitimasi peran social dan sering pula pencapaian status, sosialisasi politik merupakan suatu bagian integral dari kegiatan mempelajari peranan kemasyarakatan pada umumnya dari pada peranan-peranan politik pada khususnya.

SOSIALISASI POLITIK DALAM MASYARAKAT BERKEMBANG
Hubungan antara hal-hal yang lama dengan yang baru, paling jelas dapat di lihat dari bagian-bagian dunia yang dahulunya di jadikan koloni oleh kekuatan-kekuatan eropa, sampai kadar yang berbeda kekuatan colonial tersebut memperkenalkan lembaga-lembaga politik barat, birokrasi, kebudayaan dan pendidikan. Pada bagian besar kasus, manifestasi yang bermacam-macam dari masyarakat barat tetap ada, jika utuh, sedikit-sedikitnya masih ada, tetap saja membentuk wahana-wahana modernisasi dalam masyarakat sedemikian itu. Betapapun juga sejajar dengan hal ini, tetap ada tertinggal banyak manifestasi dari masyarakat traditional yang muncul sebelum penjajahan [zaman kolonisasi]. Selama perjuangan memperebutkan kemerdekaan, sikap-sikap tradisional dan pengaruh-pengaruh sedemikian itu cenderung tenggelam dibawah permukaan dalam suatu kesatuan yang di pertahankan demi tercapainya kemerdekaan nasional, sekali kemerdekaan itu tercapai, maka tekanan-tekana tradisional itu menyatakan dirinya kembali dan biasanya menjadi basis bagi kelompok-kelompok interest dan bagi partai-partai plitik.
SOSIALISASI DAN PERUBAHAN
Sifat sosialisasi politik yang bervariasi menurut waktu serta yang selalumenyesuaikan dengan lingkungan yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan sifat dari pemerintahan dan derajat sifat dari perubahan:
Semakin stabil pemerintahan, semakin terperinci agensi-agensi utama dari sosialisasi politik. Kebalikannya, semakin besar derajat perubahan di dalam suatu pemerintahan non-totaliter, akan semakin tersebarlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik. Semakin mendasar derajat revolusi di dalam suatu pemerintahan, semakin terperinci agensi-agensi sosialisasi politik itu jadinya. [tidak ada revolusi yang sempurna untuk memutuskan kesinambungan dari nilai-nilai tradisional yang dianggap bisa merusak regim baru tanpa menegakan beberapa agensi khusus dari sosialisasi plitik].

KOMUNIKASI POLITIK
TINJAUAN UMUM TENTANG KOMUNIKASI
     Pengertian komunikasi politik secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang diperintah”.
     Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
     Dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR,
Dalam bentuknya yang paling sederhana, proses komunikasi terdiri dari pengirim pesan dan penerima. suatu tindakan komunikasi bermula dari si pengirim. Karena itu, kualitas komunikasi sebagian besar tergantung dari ketrampilan si pengirim. Ia harus tahu isi pesan yang ingin di sampaikannya, siapa penerimanya, dan dengan saran apa pesan itu ingin di sampaikan. Selain itu juga harustahu kapan pesan itu harus di sampaikan. Kemudian tanggung jawab final dari si pengirim ialah mencari feed back atau umpan balik dann mengevaluasi secara hati-hati.
    Komunikasi politik merupakan penyampaian pesan-pesan politik dari komunikator kepada komunikan dalam arti luas. Berdasarkan pembatasan konsep komunikasi politik tersebut, terdapat dua hal yang perlu mendapatkan penekanan dalam proses komunikasi politik. Pertama, bahwa yang membedakan komunikasi politik dengan komunikasi yang lain terletak pada pesan yang disampaikan berupa pesan-pesan politik. Kedua, pengertian “dalam arti luas” menunjuk pada saluran yang digunakan dalam komunikasi politik dan level masyarakat. Artinya, komunikasi politik dapt menggunakan saluran atau media apapun yang ada dalam masyarakat dan dapat terjadi pada level manapun dalam masyarakat.
    Istilah Komunikasi Politik mulai banyak disebut sejak tahun 1960an ketika Gabriel Almond menerbitkan bukunya “The Politics of Development Area”, dimana dia menyebutkan bahwa komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. Menurut Almond, fungsi yang dijalankan oleh sistem politik adalah:
Pengertian Komunikasi Politik
          Komunikasi politik merupakan komunikasi yang bercirikan politik yang terjadi di dalam sebuah sistem politik. Komunikasi politik dapat berbentuk penyampaian pesan-pesan yang berdampak politik dari penguasa politik kepada rakyat ataupun penyampaian dukungan atau tuntutan oleh rakyat bagi penguasa politik. Istilah komunikasi politik lahir dari dua istilah yaitu ”komunikasi” dan ”politik”. Hubungan kedua istilah itu dinilai bersifat intim dan istimewa karena pada domain politik, proses komunikasi menempati fungsi yang fundamental. Bagaimanapun pendekatan komunikasi telah membantu memberikan pandangan yang mendalam dan lebih luas mengenai perilaku politik.
       Definisi mengenai komunikasi politik dapat dikemukakan oleh Denton dan Woodward (dalam Pawito, 2009), keduanya mengatakan bahwa komunikasi politik merupakan “Diskusi publik mengenai penjatahan sumber daya publik – yakni mengenai pembagian pendapatan atau penghasilan yang diterima oleh publik, kewenangan resmi – yakni siapa yang diberi kekuasaan untuk membuat keputusan-keputusan hukum, membuat peraturan-peraturan, dan melaksanakan peraturan-peraturan; dan sanksi-sanksi resmi – yakni apa yang negara berikan sebagai ganjaran atau mungkin hukuman”.
      Pengertian ini lebih mengedepankan interaksi antara negara (the state) dengan rakyat atau publik. Interaksi ini dalam berbagai realitas politik dapat dicermati melalui pertanyaan-pertanyaan realistis, misalnya, apa yang diperoleh rakyat, bagaimana keputusan-keputusan penyelenggara negara dibuat – adil ataukah tidak, dan sejauh mana rakyat mau mernerima penjatahan yang ada (Pawito, 2009).
      Sedangkan menurut Fagen, komunikasi politik adalah segala komunikasi yang terjadi dalam suatu sistem politik dan antara sistem tersebut dengan lingkungannya. Lain lagi dengan Muller yang merumuskan komunikasi politik sebagai hasil yang bersifat politik (political outcomes), dari kelas sosial, pola bahasa, dan sosialisasi. Selanjutnya Gallnor menyebutkan bahwa komunikasi politik merupakan infra-struktur politik, yaitu kombinasi dari berbagai interaksi sosial di mana informasi yang berkaitan dengan usaha bersama dan hubungan kekuasaan masuk ke dalam peredaran (Nasution, 1990).
     Rumusan Gallnor menempatkan komunikasi sebagai suatu fungsi politik bersama-sama dengan fungsi artikulasi, agregasi, sosialisasi, dan rekrutmen dalam sistem politik. Menurut Almond, komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang harus ada dalam setiap sistem politik sehingga terbuka kemungkinan bagi para ilmuwan untuk memperbandingkan berbagai sistem politik dengan berbagai latar belakang budaya yang berbeda. Bagi Almond, semua sistem politik yang pernah, sedang dan akan ada mempunyai persamaan mendasar yaitu adanya kesamaan fungsi yang dijalankannya (Nasution, 1990)
     Dari sudut rujukan ilmiah, pemikiran dari Fagen (dalam Hasrullah, 2001) menggambarkan relevansi bidang kajian ilmu politik dan komunikasi. Hal tersebut terlihat dari gambaran analisis yang disajikan, membicarakan peristiwa-peristiwa politik yang berdimensi komunikasi. Kemudian juga rujukan yang dipergunakan dalam melihat komunikasi dan politik masih memakai kerangka dasar (framework) dari Harold D. Lasswell (1948), yaitu: Who says What, in Which Channel, To Whom, Whit What Effect.
     Dengan formulasi klasik dari Lasswell ini, secara langsung juga dilihatnya bahwa problem-problem komunikasi politik dapat dianalisis dengan menggunakan kerangka dasar ini. Dan pendekatan yang dilakukannya tentunya dilihat secara mekanistis, apakah itu konsep pengaruh atau kekuasaan.
       Dari pandangan di atas terungkap, bahwa disiplin ilmu yang digunakan dalam komunikasi politik sangat multi disipliner sifatnya, sehingga dalam pengkajian yang dinamis tentunya membutuhkan paradigma yang luas dari berbagai disiplin ilmu.
      Karena itu, seperti dikatakan Rush dan Althoff (1997), komunikasi politik memainkan peranan yang amat penting di dalam suatu sistem politik. Ia merupakan elemen dinamis, dan menjadi bagian yang menentukan dari proses-proses sosialisasi politik, partisipasi politik, dan rekrutmen politik. Sedangkan dalam konteks sosialisasi politik, Graber (1984) memandang komunikasi politik ini sebagai proses pembelajaran, penerimaan, dan persetujuan  atas kebiasaan-kebiasaan (customs) atau aturan-aturan (rules), struktur dan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan politik. Ia menempati posisi penting dalam kehidupan sosial-politik karena dapat mempengaruhi kualitas interaksi antara masyarakat dan penguasa.
           Dari beberapa pengertian di atas, jelas komunikasi politik adalah suatu proses komunikasi yang memiliki implikasi atau konsekuensi terhadap aktivitas politik. Faktor ini pula yang membedakan dengan disiplin komunikasi lainnya seperti komunikasi pendidikan, komunikasi bisnis, komunikasi antar budaya, dan semacamnya. Perbedaan itu terletak pada isi ‘pesan’. Artinya komunikasi politik memiliki pesan yang bermuatan politik, sementara komunikasi pendidikan memiliki pesan-pesan  yang bermuatan pendidikan. Jadi untuk membedakan antara satu disiplin dengan disiplin lainnya dalam studi ilmu komunikasi, terletak pada sifat atau pesannya.  
      Komunikasi politik menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik rakyat yang menjadi input sistem politik. Dan pada waktu yang bersamaan komunikasi politik juga menyalurkan kebijakan yang diambil atau output dari sistem politik. Dengan demikian melalui komunikasi politik maka rakyat dapat memberikan dukungan, menyampaikan aspirasi dan melakukan pengawasan terhadap sistem politik.
     Unsur-unsur yang terlibat dalam komunikasi politik ini terbagi dua, yaitu unsur suprastruktur dan infrastruktur politik. Suprastruktur politik terdiri dari; lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sedangkan infrastruktur politik terdiri dari; partai politik, interest group, media massa, tokoh masyarakat, dan lainnya. Menurut VJ. Bell ada tiga jenis pembicaraan dalam pengertian politik yang mempunyai kepentingan politik yang jelas sekali politis, yaitu; pembicaraan kekuasaan (mempengaruhi dengan ancaman atau janji), pembicaraan pengaruh (tanpa sanksi), dan pembicaraan otoritas berupa perintah (Littlejohn, 2005).
      Komunikasi politik harus dilakukan dengan intensif dan persuasif agar komunikasi dapat berhasil dan efektif. Adapun faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari komunikasi politik yaitu; status komunikator, kredibilitas komunikator, dan daya pikat komunikator. Carl Hoveland, seorang ahli komunikasi mengatakan bahwa terbentuknya sikap suatu proses komunikasi selalu berhubungan dengan penyampaian stimuli yang biasanya dalam bentuk lisan oleh komunikator kepada komunikan guna mengubah perilaku orang lain (Nimmo, 2005). Pendapat Hoveland ini menyangkut efek dari suatu proses komunikasi persuasif. Asumsi dasar dari Hoveland adalah bahwa sikap seseorang maupun perubahannya tergantung pada proses komunikasi yang berlangsung apakah komunikasi itu diperhatikan, dipahami, dan diterima dengan baik.

Definisi Komunikasi
Komunikasi berasal dari bahasa latin, yakni Communico yang artinya membagi, dan Communis yang berarti membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih (Hafied, 2014:13). Aristoteles yang hidup empat abad sebelum masehi (385-322 SM) dalam bukunya Rethoric membuat definisi komunikasi dengan menekankan “siapa mengatakan apa kepada siapa.” Definisi yang dibuat Aristoteles ini sangat sederhana, tetapi ia telah mengilhami seorang ahli ilmu politik bernama Harold D. Lasswell pada 1948, dengan mencoba membuat definisi komunikasi yang lebih sempurna dengan menanyakan “SIAPA mengatakan APA, MELALUI apa, KEPADA siapa, dan apa akibatnya.”
Steven mengajukan sebuah definisi yang lebih luas bahwa komunikasi terjadi kapan saja suatu organisme memberi reaksi terhadap suatu objek atau stimuli, apakah itu berasal dari seseorang atau lingkungan sekitarnya. Hovland, Janis, dan Kelly juga membuat definisi bahwa “Communication is the process by which an individual (the communicator) transmitits stimuli (usually verbal) to modify the behavior of other individuals (the audience).” (Hafied, 2014:14).

Definisi Politik
Istilah ilmu politik (science politique) pertama kali digunakan oleh Jean Bodin di Eropa pada tahun 1576, kemudian Thomas Fitzherbert dan Jeremy Bentham pada tahun 1606. Akan tetapi, itilah politik yang dimaksud ialah ilmu negara sebagaimana tertulis dalam karya-karya sarjana Eropa daratan yang bersifat institutional yuridis, sementara yang berkembang di Amerika adalah teori politik. Konsepsi teori politik yang dikembangkan di Amerika telah melepaskan diri dari sifat-sifat yang institutional yuridis dengan memberi skope yang lebih luas daripada ilmu negara. Dalam pandangan para sarjana Amerika, ilmu politik sebagai ilmu negara bukan lagi dalam skope institutional yang statis, tetapi lebih maju dengan melihat negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Harold D. Lasswell lebih tegas merumuskan politik sebagai ilmu tentang kekuasaan ”when we speak of the science of politics, we mean the science of power.” (Hafied, 2014:23)
Budiardjo menyatakan bahwa politik adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha menggapai the goog life ini mneyangkut bermacam-macam kegiatan yang anatra lain menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan itu (Miriam, 2008:15). Lebih jauh Budiardjo menekankan bahwa tujuan politik bukan untuk memenuhi kepentingan atau tujuan pribadi seseorang (private goal), melainkan untuk kepentingan seluruh masyarakat (Hafied, 2014:24).
Definisi Komunikasi Politik
Michael Rush dan Phillip Althoff mendefinisikan komunikasi politik sebagai suatu proses di mana informasi politik yang relevan diteruskan dari satu bagian sistem politik kepada bagian lainnya, dan di antara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik (Rafael, 2014:158). Dengan demikian, pengertian komunikasi politik dapat dirumuskan sebagai suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik. Gabriel Almond adalah sarjana politik keluaran 1950-an dengan aliran behavioristik yang melihat politik tidak saja membahas masalah negara, melainkan dalam hubungannya dengan komunikasi (media massa) dan opini publik (Hafied, 2014:30).
Komunikasi politik menurut McNair murni membicarakan tentang alokasi sumber daya publik yang memiliki nilai, apakah itu nilai kekuasaan atau nilai ekonomi, petugas yang memiliki kewenangan untuk member kekuasaan dan keputusan dalam pembuatan undang-undang atau aturan, apakah itu legislatif atau eksekutif, serta sanksi-sanksi apakah itu dalam bentuk hadiah atau denda. Untuk menghindari kajian komunikasi politik itu tidak hanya bicara tentang kekuasaan, Doris Graber mengingatkan dalam tulisannya “political language” bahwa komunikasi politik tidak hanya retorika, tetapi juga mencakup simbol-simbol bahasa, seperti bahasa tubuh serta tindakan-tindakan politik seperti baikot, protes dan unjuk rasa. Dari beberapa pengertian di atas, jelas komunikasi politik adalah suatu proses komunikasi yang memiliki implikasi atau konsekuensi terhadap aktivitas politik.

B. POLA-POLA KOMUNIKASI POLITIK DAN SALURANNYA
Komunikasi politik hanyalah sebagian dari komunikasi social. Karena itu pola-pola dasarnya pun mengikuti pola-pola komunikasi social. Yang di maksud adalah pola komunikasi vertical [dari atas ke bawah dan sebaliknya, misalnya dari pemimpin masyarakat kepada rakyat yang di pimpin atau sebaliknya]. Pola komunikasi horizontal [komunikasi antara individu yang satu dengan individu yang lain, atau antara kelompok yang satu dengan kelmpok yang lain]. Pola komunikasi formal [komunikasi melalui jalan-jalan organisasi formal] dan komunikasi informal [komunikasi melalui pertemuan atau tatap muka langsung, tidak mengikuti prosedur atau jalur-jalur formal yang berlaku dalam suatu organisasi].
Penting untuk di perhatikan bahwa tanpa komunikasi politik yang efektif, maka aktivitas politik akan kehilangan bentuk. Untuk itu sumber pesan, misalnya seorang calon presiden atau seorang calon legislative di tuntut untuk menyampaikan pesan yang jelas kepada para pendukungnya dan masyarakat di samping itu, calon yang bersangkutan pun harus tau saluran atau sarana penyampaian informasi yang tepat. Dengan demikian dia pun boleh berharap untuk memperoleh umpan balik, yang tepat pula dalam hal ini calon pemilih merupakan sumber informasi baginya.

C. PEMBENTUKAN PENDAPAT UMUM
Yang di maksud pandangan umum adalah pandangan bebagai kalangan warga masyarakat mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan bersama mereka dalam suatu masyarakat. Tercakup disini adalah persetujuan atau tidak adanya persetujuan atas kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Proses pembentukan pendapat berkaitan erat dengan proses sosialisasi politik, partisipasi dan pengrekrutan politik, perbedaan pengetahuan, nilai-nilai budaya dan sikap-sikap mereka pun menetukan perbedaan pandangan tentang berbagai isu, publik.
Karena itu tidak mengherankan bila di dalam kenyataan tidak terdapat suatu pendapat yang berlaku bagi semua kalangan masyarakat. Seringkali yang terjadi adalah bahwa sebagaian besar warga masyarakat berpendapat sama tentang satu hal. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam banyak hal yang lain. Misalnya, menurut pendapat umum, penindasan dalam bentuk apa pun seperti yang terjadi di irian jaya dan aceh tidak di benarkan dan harus di kutuk. Tetapi tidak semua mereka yang berpendapat demikian lantas menyetujui upaya pemisahan kedua provinsi itu dari wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia.
Robert Lane dan David sears berpendapat, bahwa pendapat umum memberikan pengarahan. Ini berarti, bahwa beberapa individu akan menyutujui suatu pandangan tertentu, sedangkan individu yang lain menetangnya. Memang tentang isu yang sama sering terdapat pendapat yang pro dan kontra- disamping itu terdapat pula orang yang sama sekali mempunyai pendapat tentang hal yang bersangkutan.

 KESIMPULAN
      Sosialisasi politik merupakan suatu proses bagaimana memperkenalkan system politik pada seseorang dan bagaimana orang tersebut menentukan tanggapan serta reaksi-reaksi terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik di tentukan oleh lingkungan social, ekonomi, dan kebudayaan di mana individu berada. Selain itu juga di tentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadiaannya.
Dari beberapa definisi menurut para ahli kemudian kita menyimpulkan tiga definisi awal mengenai sosialisasi politik, yaitu :

1. pola-pola mengenai aksi sosial atau aspek tingkah laku, yang menanamkan pada individu ketrampilan-ketrampilan [termasuk ilmu pengetahuan]. Motif dan sikap yang perlu untuk menampilkan peran yang sekarang atau yang tengah diantisipasikan [dan yang terus berkelanjutan] sepanjang kehidupan manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus terus dipelajari.
2. segenap proses yang mana individu, yang dilahirkan dengan sekali jajaran potensi tingkah laku, dituntut untuk mengembangkan tingkah laku actual yang di batasi di dalam satu jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan standar-standar dari kelompoknya.
3. komunikasi dengan dan dipelajari dari manusia lainnya, dengan siapa individu itu secara bertahap memiliki beberapa jenis relasi-relasi umum.
     Komunikasi dan politik merupakan suatu kajian yang saling berhubungan satu sama lainnya. Komunikasi politik telah ada sejak manusia berpolitik dan berkomunikasi. Komunikasi politik merupakan transmisi informasi yang relevan secara politis dari satu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dan sistem politik merupakan unsur dinamis dari suatu sistem politik dan proses sosialisasi, partisipasi, dan prekrutan tergantung pada komunikasi. Dalam komunikasi politik, aspek pembentukan opini ini menjadi tujuan utama, karena hal ini akan mempengaruhi pencapaian-pencapaian politik para aktor politik.
Komunikasi politik itu sendiri ialah suatu proses komunikasi yang memiliki implikasi atau konsekuensi terhadap aktivitas politik. Komunikasi politik dapat dirumuskan sebagai suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik.
Komunikasi politik hanyalah sebagian dari komunikasi sosial. Karena itu pola-pola dasarnya pun mengikuti pola-pola komunikasi sosial. Yang dimaksud adalah pola komunikasi vertikal (dari atas ke bawah dan sebaliknya), pola komunikasi horizontal (komunikasi antara individu yang satu dnegan individu yang lain, atau anatara kelompok satu dnegan kelompok lainnya), pola komunikasi formal (komunikasi melalui jalur-jalur organisasi formal) dan pola komunikasi informal (tidak mengikuti prosedur atau jalur-jalur formal yang berlaku dalam suatu oraganisasi). Dalam komunikasi politik, aspek pembentukan opini ini menjadi tujuan utama, karena hal ini akan mempengaruhi pencapaian-pencapaian politik para aktor politik.

Referensi ; 
Arifin, Anwar. 2003. Komunikasi Politik. Jakarta: Balai Pustaka.
Hafied Cangara. 2014. Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Miriam Budiardjo. 2008. Dsaar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Rafael Raga Maran. 2014. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta.
Rush, Michael & Phillip. Althoff. 2008. Pengantar Sosiologi Poltik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nimmo, Dan. 2005. Komunikasi Politik. Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Graber, Doris A. 1984. Mass Media and American Politics. Washington DC: CQ Press
Hasrullah. 2001. Megawati dalam Tanggapan Pers. Yogyakarta: LKiS
Littlejohn, Stephen W and Karen A. Foss. 2005. Theories of Human Communication. New Mexico: Wadsworth, Thomson Learning.
Pawito. 2009. Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta: Jalasutra
Rush dan Althoff, 1997, Pengantar Sosial Politik. Jakarta: Raja Grafindo
Nasution, Zulkarimein. 1990. Komunikasi Politik: Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia

Bahan Bacaan  Suryadi, Budi, Sosiologi Politik; Sejarah, Definisi dan Perkembangan Konsep, IRCiSoD, Yogyakarta.  Bottomore, Tom, 1992, Sosiologi Politik, diterjemahkan Sahar Simamora, Rieneka Cipta, Jakarta.  Rush, Michael dan Phillip Althooff,2005, Pengantar Sosiologi Poitik, Rajawali Press. Jakarta.  Dll
http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1796115-sosialisasi-politik/

http://id.shvoong.com/social-sciences/1897611-pengertian-komunikasi-politik/

PENGERTIAN, KONSEP, PRAKTEK,TINGKATAN PARTISIPASI POLITIK| pembelajaran ppkn

PENGERTIAN, KONSEP, PRAKTEK,TINGKATAN   PARTISIPASI POLITIK
Berikut ini akan ditampilkan mengenai Pengertian, konsep, praktek, dan tingkatan partisipasi politik. Dengan tujuan untuk memudahkan pemahaman bagi siapa saja ingin belajar salah satu pokok nahasan mata pelajaran PPKN.
    Pengertian partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.
     Definisi partisipasi politik yang cukup senada disampaikan oleh Silvia Bolgherini. Menurut Bolgherini, partisipasi politik " ... a series of activities related to political life, aimed at influencing public decisions in a more or less direct way—legal, conventional, pacific, or contentious. Bagi Bolgherini, partisipasi politik adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung - dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun memaksa.
      Studi klasik mengenai partisipasi politik diadakan oleh Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries. Lewat penelitian mereka, Huntington and Nelson memberikan suatu catatan: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam melakukan partisipasi politik, cara yang digunakan salah satunya yang bersifat paksaan (contentious). Bagi Huntington and Nelson, perbedaan partisipasi politik sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada dengan dipaksa) hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.
     Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
 
KONSEP PARTISIPASI POLITIK

    Penulis meminjam pendapat  Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Partisipasi sukarela dan mobilisasi hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.
    Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
     Terbukti banyak Negara-Negara yang sedang berkembang telah mencapai angka pertumbuhan GNP tahunan secara pukul rata melampui target sebesar 5%, menjelang akhir tahun-tahun enam puluhan, akan tetapi dampak dari pertumbuhan itu tidak dirasakan oleh masyarakat, terbukti masih banyak ketimpangan dimana-mana antara sikaya dan simiskin”. Artinya adalah, meningkatnya GNP tidak dengan sendirinya akan meningkatkan pendapatan yang adil, terbukanya peluang yang besar terhadap golongan-golongan masyarakat yang tidak beruntung dalam mengecap pendidikan, dan memperoleh pekerjaan yang produktif .
       Dalam urain diatas, penulis juga punya pandangan yang menarik bagaimana tentang pembanguan politik dan ekonomi pada tahun 2011 di era pemerintah SBY. Fenomena ini ternyata hari ini memang terjadi di negeri kita ini, kita dijebak dengan kegembiraan angka-angka yang mengatakan jumlah angka kemiskinan sudah berkurang, dan meningkatnya GDP Indonesia pada tahun 2010, seperti akhir-akhir ini pemerintah selalu memuji keberhasilan ekonomi Indonesia yang mampu  lebih siap menghadapi krisis, pemerintah selalu mengunakan angka-angka terhadap peningkatan GDP pembangunan Indonesia, kondisi ekonomi Indonesia meningkat, artinya pemerintah mencoba menjebak masyarakat dengan angka-angka makro ekonomi. Tetapi pertanyaannya kemudian apakah dengan meningkatkan GDP Indonesia, seolah persoalan ekonomi selesai, ternyata kemiskinan masih ada dimana-mana, penganguran. Memang antara realita dengan idealnya tidak terwujud.
     Jika model partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi :

1.      Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
2.      Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;
3.      Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
4.      Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan
5.      Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
6.      Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini.
Namun yang jelas dalam tulisan ini, pengertian atau definisi partisipasi politik dapat disimpulkan, yang jelas partisipasi politik tidak hanya kegiatan yang oleh pelakunya sendiri tidak hanya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, atau juga kegiatan oleh orang lain diluar sipelaku yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Yang pertama dapat dikatakan sebagai partisipasi otonom, yang terakhir adalah partisipasi yang dimobilisasikan.

Partisipasi Mobilisasi VS Partisipasi Otonom

    Apakah mobilisasi dapat diangap sebagai partisipasi politik? Myron Wiener, umpamanya menekankan sifat sukarela dari partisipasi “hadir dalam acara rapat umum atas perintah pemerintah tidak termasuk partisipasi politik”. Seperti warga Negara yang memberikan suaranya dalam pemilu, dimana warga Negara tidak dapat memilih diantara calon-calon.
    Perbedaan yang domobilisasikan dan yang otonom, sebenarnya antara partisipasi yang dimobilisasikan dan partisipasi yang otonom, lebih tajam prinsip dari pada dalam realitas. Apakah kegiatan demonstrasi adalah partisipasi yang otonom atau partisipasi yang dimobilisasi?.
    Menurut penulis untuk melihat ini tergantung cara pandang kita, bisa partisipasi yang bersifat otonom ketika gerakan demonstrasi benar-benar murni untuk kepentingan tanpa ada yang kemudian menunganginya, tentu berbeda dengan demonstrasi yang dimobilisasikan ketika ada yang membayar untuk memperjuangkan kepentingan seseorang. Sekalipun sangat ditemukan mobilisasi tanpa propokator atau penunggangnya. Memang harus disadari bahwa ada gerakan spontanitas, tapi itu hanya siasat bagi orang yang ingin menuai keberhasilan dari gerakan tersebut.
    Ketika penulis mau membahas bagaimana partisipasi politik pada masa orde baru, yang menimbulkan pertanyaan apakah partisipasi yang otonom atau dimobilisasikan, kalau orde baru penulis lebih cenderung terjadinya partisipasi politik yang dimobilisasikan. Soeharto pada rezimnya memang pembangunan berjalan dengan bagus bahkan GDP kita terbaik di Asia Tenggara ketika itu, namun, Soeharto membungkam partisipasi politik. Pembangunan yang top down dari pusat, centralistic, yang menarik lagi desa dipaksakan keseluruh negeri dari Sabang sampai Meroke, konsep desa hanya ada di Jawa, artinya variasi lokal soeharto tidak dimunculkan. Tapi itu tidak bisa dihindari karena memang pilihan sistem ekonomi yang dipilihnya untuk mengatasi masalah ekonomi pada masa itu. Selain itu pendidikan mengenai demokrasi belum terlalu memasyarakat. 
   Di era demokrasi sekarang kalau penulis boleh objektif, tingkat partisipasi politik sudah bagus, bahkan dengan adanya otonomi daerah adalah bentuk konkrit dari partisipasi itu sendiri dalam arti yang nyata. Sekali lagi setelah reformasi, system pembangunan politik dan ekonomi sudah terjadi pergeseran,  sekarang partai lokal juga ada di daerah, tidak itu saja, kalau orde baru pembangunan berasal dari pusat, sementara konsep pembangunan sekarang diserahkan atau daerah yang mengelola, bagaimana meningkatkan pendapatan  belanja daerah misalnya.
PRAKTEK PARTISIPASI POLITIK
 
Mode Partisipasi Politik

Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan teror.

Bentuk/ Praktek  Partisipasi Politik

Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:

    Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
    Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;
    Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
    Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan
    Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
    Kelima bentuk/praktek partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini.
    Klasifikasi bentuk/praktek partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu. Misalnya, Thomas M. Magstadt menyebutkan bentuk-bentuk partisipasi politik dapat meliputi: (1) Opini publik; (2) Polling; (3) Pemilihan umum; dan (4) Demokrasi langsung. [6] Opini publik adalah gagasan serta pandangan yang diekspresikan oleh para pembayar pajak dan konstituen pemilu.
    Opini Publik. Opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu. Opini publik ini mengejawantah dalam bentuk lain partisipasi politik selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi langsung.
    Polling. Polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah, partisipasi politik (menurut Magstadt) warganegara menemui manifestasinya. Di dalam polling, terdapat aneka konsep yang menjadi bagian di dalam dirinya yaitu: straw polls, random sampling, stratified sampling, exit polling, dan tracking polls.
      Straw polls adalah survey yang tidak ilmiah karena bersifat sederhana, murah, dan amat terbuka untuk penyalahgunaan dan manipulasi. Straw polls dianggap tidak ilmiah karena tidak memertimbangkan representasi populasi yang menjadi responden polling. Penentuan responden bersifat serampangan, dan terkadang hanya menggunakan sampel yang hanya merupakan bagian tertentu dari populasi.
      Random sampling adalah metode polling yang melibatkan canvassing atas populasi secara acak. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Dalam teknik ini, disarankan jumlah minimal untuk suatu polling adalah 1500 orang apabila populasi yang diambil pendapatnya adalah besar. Pengambilan sampel acak harus bersifat lintas-segmen seperti usia, ras, agama, orientasi politik, pendidikan, dan faktor-faktor lain yang signifikan di suatu masyarakat. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling. Metode ini adalah cara menentukan responden polling, yang diadakan akibat munculnya keterbatasan untuk melakukan random sampling. Dalam stratified sampling, pihak yang menyelenggarakan polling memilih populasi yang cukup kecil tetapi memiliki karakteristik khusus (agama, usia, income, afiliasi partai politik, dan sejenisnya).
     Exit polling adalah polling yang memungkinkan jaringan televisi memrediksi pemenang suatu pemilihan umum segera setelah pemungutuan suara usai. Teknik yang dilakukan adalah menyurvei pemberi suara di tps-tps tertentu.
    Tracking polls adalah polling yang dilakukan atas responden yang sama dalam suatu periode kampanye. Tujuannya mengidentifikasi peralihan sentimen pemilih atas suatu calon, partai, ataupun isu. Tujuan dari polling ini adalah memerbaiki kinerja kampanye calon, kampaye parpol, bahkan kinerja pemerintah.
     Pemilihan Umum. Pemilihan umum (Pemilu) erat hubungannya dengan polling. Pemilu hakikatnya adalah polling "paling lengkap" karena menggunakan seluruh warga negara benar-benar punya hak pilih (tidak seperti polling yang menggunakan sampel). Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung adalah suatu situasi di mana pemilih (konstituen) sekaligus menjadi legislator. Demokrasi langsung terdiri atas plebisit dan referendum. 
     Plebisit adalah pengambilan suara oleh seluruh komunitas atas kebijakan publik dalam masalah tertentu. Misalnya, dalam kasus kenaikan harga BBM ketika parlemen mengalami deadlock dengan eksekutif, diambilah plebisit apakah naik atau tidak. Referendum adalah pemberian suara dengan mana warganegara dapat memutuskan suatu undang-undang. Misalnya, apakah undang-undang otonomi daerah perlu direvisi ataukah tidak, dan parlemen mengalami deadlock, dilakukanlah referendum.
 
TINGKATAN   PARTISIPASI POLITIK
1. Menurut Huntington dan Nelson .
    Dua kriteria tingkat partisipasi politik :
      a. Ruang lingkup dari suatu kategori warga negara.
      b. Intensitas, aturan ukuran, ukuran, dan arti lamanya dan arti penting dari .
          kegiatan khusus itu bagi sistem politik.

2. Hubungan tingkat partisipasi tampak dalam hubungan "berbanding terbalik" .
      a. Lingkup partisipasi yang besar terjadi dalam intensitas kecil .
      b. Lingkup partisipasi kecil, makin tinggi intensitasnya.

Tingkatan Partisipasi Politik.
a. Aktivis        ⇒  (menyimpang), pembunuh politik, teroris, penjajah.
b. Partisipan  ⇒  Petugas kampanye, aktif dalam parpol/kelompok kepentingan .
c. Pengamat  ⇒  Menghadiri rapat umum, anggota kelompok, kepentingan, meya-
                           kinkan orang, memberikan suara dalam pemilu, perhatian pada
                           perhatian politik.
Tingkatan Partisipasi Politik Jika dilihat dari segi aktifitasnya setiap saat maka tingkatan partisipasi politik teridiri dari :
a. Menduduki jabatan politik atau administrasi
b. Mencari jabatan politik atau administrasi
c. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
d. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
e. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik
f. Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik
g. Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi dsb
h. Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam bidang politik
i. Voting (pemberian suara)
Berikut ini tingkatan partisipasi politik dilihat target setiap yang berkepentingan menurut beberapa ahli :
1) Herbert McClosky, dalam International Encyclopedia of The Social Science; Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung terlibat dalam proses pembentukan kebijaksanaan umum.
2) Kevin R. Hardwick, Partisipasi politik memberi perhatian pada cara-cara warga negara berinteraksi dengan pemerintah, warga negara berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka terhadap pejabat-pejabat publik agar mampu mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut. Indikatornya adalah terdapat interaksi antara warga negara dengan pemerintah dan terdapat usaha warga negara untuk mempengaruhi pejabat publik.
3) Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Science; Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga Negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat Negara dan/atau tindakan-tindakan yang mereka ambil.
4) Michael Rush dan Philip Althoft, Partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Indikatornya adalah berwujud keterlibatan individu dalam sistem politik dan memiliki tingkatan-tingkatan partisipasi.
5) Huntington dan Nelson, Partisipasi politik ialah kegiatan warga negara preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Indikatornya adalah:
• Partisipasi politik menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap.
• Subyek partisipasi politik adalah warga negara preman (private citizen)atau orang per orang dalam peranannya sebagai warga negara biasa, bukan orang-orang profesional di bidang politik.
• Kegiatan dalam partisipasi politik adalah kegiatan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dan ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah yang mempunyai wewenang politik.
• Partisipasi politik mencakup semua kegiatan mempengaruhi pemerintah, terlepas apakah tindakan itu memunyai efek atau tidak.
• Partisipasi politik menyangkut partisipasi otonom dan partisipasi dimobilisasikan
6) Ramlan Surbakti, Partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Partisipasi politik berarti keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Indikatornya adalah keikutsertaan warga negara dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik dan dilakukan oleh warga negara biasa
7) Prof. Miriam Budiharjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik; Partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang dalam partai politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan turut serta secara langsung atau tak langsung dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Indikatornya adalah berupa kegiatan individu atau kelompok dan bertujuan ikut aktif dalam ke-hidupan politik, memilih pim-pinan publik atau mempenga-ruhi kebijakan publik.
Berdasarkan beberapa defenisi konseptual partisipasi politik yang dikemukakan beberapa sarjana ilmu politik tersebut, secara substansial menyatakan bahwa setiap partisipasi politik yang dilakukan termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan partisipasi politik dilakukan oleh warga negara preman atau masyarakat biasa, sehingga seolah-olah menutup kemungkinan bagi tindakan-tindakan serupa yang dilakukan oleh non-warga negara biasa. Keikutsertaan warga negara dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik.
 
 Referensi
Budiyanto M.M . 2007. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SMA Kelas XI. Jakarta , Erlangga.
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) h. 9-10.
    Ibid.
Silvia Bolgherini, "Participation" dalam Mauro Calise and Theodore J. Lowi, Hyperpolitics: An Interactive Dictionary of Political Science Concept (Chicago: The University of Chicago, 2010) p. 169.
Oscar Garcia Luengo, E-Activism New Media and Political Participation in Europe, (CONFines 2/4 agosto-diciembre 2006)
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi ... op.cit.
Thomas M. Magstadt, Understanding Politics (Belmont: Cengage Learning, 2012) pp. 273-82.
Christina Holtz-Bacha, Political Disaffection, dalam dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political Communication, (California : Sage Publications, 2008) p.577-9.
Jan W. van Deth, Political Participation, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2.
Kai Arzheimer, Political Efficacy, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2. p. 579-80.

Pengertian Dan Prinsip-Prinsip Demokrasi |pembelajaran ppkn

Pengertian Demokrasi, Pemikiran Tentang Demokrasi  , Ciri-Cir Demokrasi, Prinsip-Prinsip Demokrasi, dan Demokratisasi
Pengertian Demokrasi

Pengertian Demokrasi – Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang diambil dari kata Demokratia yang berarti “kekuasaan rakyat”. Demokratia sendiri terdiri dari dua kata yakni demos yang mempunyai arti “rakyat” dan kratos yang mempunyai arti “kekuasaan atau kekuatan”.

Demokrasi mencakup kondisi budaya, ekonomi dan sosial yang memungkinkan dalam terjadinya praktik kebebasan politik baik secara bebas ataupun setara.

Secara umum pengertian demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang setiap warga negara mempunyai hak yang setara dalam pengambilan suatu keputusan yang akan memberikan efek dalam kehidupan mereka. Demokrasi juga bisa diartikan sebagai bentuk kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat.

Dalam demokrasi, warga negara bisa diizinkan untuk berpartisipasi aktif secara langsung atau juga melalui perwakilan dalam melakukan perumusan, pengembangan serta pembuatan hukum.

Pengertian Demokrasi Menurut Para Ahli

Beikut ini beberapa pengertian demokrasi menurut para ahli.

       Pengertian demokrasi menurut Abraham Linclon adalah sistem pemerintahan yang dibuat dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
    Pengertian demokrasi menurut Charles Costello adalah sistem sosial serta politik pemerintahan diri dengan kekuasaan pemerintah yang dibatasi oleh hukum serta kebiasaan untuk melindungi setiap hak perorangan warga negara.
    Pengertian demokrasi menurut Hans Kelsen adalah pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat dan untuk rakyat. Adapun yang melakukan kekuasaan negara adalah wakil-wakil rakyat yang sudah terpilih. Rakyat sendiri sudah yakin, bahwa segala kepentingannya akan diperhatikan di dalam aturan yang dibuat oleh wakil-wakil rakyatnya dalam pelaksanaan kekuasaan negara.
Pemikiran Tentang Demokrasi
Fenomena demokrasi telah menjadi wacana luas sejak berakhirnya perang dingin di tahun 1991. Runtuhnya simbol kekuasaan komunis yakni Uni soviet menjadi determinasi penerimaan konsep demokrasi secara menyeluruh oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Demokrasi merupakan konsep penyelenggaraan pemerintah yang diusung oleh pemahaman liberal Barat, utamanya Amerika sebagai pencetus pertama konsep demokrasi. Walaupun demikian, banyak pula yang berpendapat bahwa demokrasi secara partikular berakar dari nilai nasionalisme dan kebebasan berpendapat yang berkembang sekitar awal abad 20.

Konsep demokrasi bukanlah hal yang sama sekali baru bagi dunia internasional. Konsep demokrasi tertua telah diperkenalkan secara implisit oleh filsuf Yunani kuno, yakni Plato dan Aristoteles. Akan tetapi, posisi demokrasi dalam ketatanegaraan berdasarkan pemikiran filsuf-filsuf tersebut belumlah substansial seperti masa sekarang. Hal itu disebabkan demokrasi dianggap merupakan konsep negara yang buruk dalam dunia filsuf Yunani saat itu.

Pada masa-masa selanjutnya nilai demokrasi ditelan oleh konsep negara politea dan otokrasi, hal ini sejalan dengan pemikiran Santo Agustinus dan Thomas Aquina. Sedangkan pada masa berikutnya, yakni pada masa pemikiran Machiavelli dan Thomas Hobbes, konsep demokrasi mengalami nasib naas, dikubur oleh kekuasaan yang terpusat pada satu penguasa saja. Selanjutnya, demokrasi mulai mendapatkan angin segar dari Montesquieu dan J.J. Rousseau sehingga meraih kepercayaan diri sebagai konsep negara yang idealis dan banyak diidam-idamkan oleh orang-orang di dunia, khususnya orang-orang yang tertindas. Demokrasi meraih momentum keemasan ketika ia diembeli oleh nilai-nilai liberalisme seperti kebebesan berpendapat dan kebebasan pasar ekonomi yang seluas-luasnya.

Berbeda dengan pemikir-pemikir barat era sebelumnya, seperti yang telah disebutkan di atas, Freidrich Engels, Karl Marx dan Engels muncul sebagai pemikir radikal yang kontroversional. Dinamakan kontroversional karena seolah-olah pemikiran ketiganya mendirikan parameter jelas yang membatasi konsep demokrasi yang berlebihan. Dikatakan oleh ketiganya, bahwa demokrasi yang dijunjung tinggi oleh demokrasi mesti diawasi oleh keterlibatan pemerintah pusat dalam melakukan kontrol yang ketat, bila perlu.

Berikut dalam tulisan ini akan dibahas satu persatu perspektif pemikir barat dalam menerjemahkan konsep demokrasi sesuai dengan konteks zamannya masing-masing dengan harapan semoga tulisan ini menjadi bacaan ringan dan menambah pengetahuan pembaca budiman. Segala kritik dan saran diterima dengan terbuka demi memperbaiki tulisan ini di masa datang.

    Zaman Yunani Kuno, Plato (429-347 Sm) dan Aristoteles (384-322 SM)

Keilmuan Yunani, pusat awal perkembangan peradaban Barat, memperkenalkan metode-metode eksperimental dan spekulatif guna mengembangkan pengetahuan melalui semangat rasionalisme dan empirisme dengan menempatkan akal di atas segala-galanya. Dengan kata lain sumber kebenaran hanya dapat dikenali melalui akal. Berbeda dengan pemikiran di atas yang lazim di Yunani, Socrates, salah satu pemikir Yunani yang paling signifikan dan inspiratif, mengungkapkan bahwa kebenaran dapat dikenali melalui metode retoriknya. Yakni kebenaran akan diketahui buktinya dengan melakukan investigasi, dengan bertanya, terus-menerus. Athena, tempat lahirnya para filsuf Yunani dahulunya terkenal dengan sistem pemerintahan yang demokratis.

Dalam sejarah awal perkembangannya demokrasi juga memakan korban. Socrates, filsuf terkemuka negara Yunani kuno, sangat kritis membela pemikiran-pemikirannya, yaitu agar kaum muda tidak mempercayai para dewa dan mengajari mereka untuk mencapai kebijaksanaan sejati dengan berani bersikap mencintai kebenaran sehingga terhindar dari kedangkalan berpikir.

Socrates sangat meyakini adanya kebenaran mutlak, maka para penguasa Athena menganggap Socrates sebagai oposan. Mereka menganggap Socrates menyesatkan dan meracuni kaum muda dengan ajaran-ajarannya. Socrates menemukan argumen untuk membela diri, yaitu dengan metode induksi (penyimpulan dari khusus ke umum). Dengan metode induksi ini ia menentukan pengertian umum yang berhasil membuktikan bahwa tidak semua kebenaran itu relatif.

Meskipun tidak meninggalkan ajaran gurunya, Plato mengungkapkan bahwa kebenaran yang mutlak terletak pada ide dan gagasan yang abadi. Seluruh filsafat Plato bertumpu pada ide yang menurutnya realitas (kenyataan) sebenarnya dari segala sesuatu yang ada dan dapat dikenal lewat panca indra.

Melalui idealisme yang empiris, Plato mengungkapkan bahwa hal terpenting berhubungan dengan penguasa adalah,penguasa mesti berasal dari kalangan filsuf. Dengan sejumlah argumentasi, menurut Plato, hanyalah filsuf yang dibekali dengan nilai-nilai kebenaran. Landasan pemikiran Plato tentang negara berawal dari idenya yang menggolongkan manusia ke dalam kelas dalam negara, berturut terdiri dari akal, semangat, dan nafsu yang kemudian memperoleh interpretasi berbeda yakni sebagai penasihat, militer, dan pedagang.

Plato mempercayai bahwa masing-masing individu mesti melaksanakan fungsinya dengan sebaik-baiknya dan tidak ada pelanggaran hierarkis. Hierarki inilah yang kemudian dipertahankan oleh plato sebagai justifikasi pemikirannya mengenai demokrasi. Artinya, demokrasi kerakyatan tidak bisa diterima oleh pemikiran plato seperti di atas karena rakyat biasa tidak mempunyai waktu untuk memikirkan negara, dan lebih pentingnya lagi, Plato menegaskan bahwa rakyat tidak memiliki pengetahuan ketatanegaraan sama sekali. Penyerahan wewenang pada rakyat yang demikian sepenuhnya merupakan awal kehancuran suatu entitas kekuasaan itu sendiri.

Pemikiran ini serupa dengan muridnya Aristoteles, meskipun sedikit berbeda, Aristoteles dan Plato berbagi kemiripan landasan pemikiran. Pemikiran Aristoteles mengenai demokrasi diungkapkan dalam pandangannya mengenai warganegara. Menurutnya tidak semua individu dikelompokkan ke dalam warganegara. Warganegara adalah individu yang memiliki waktu untuk memperluas pengetahuan tentang urusan publik dan mengupayakan kewajiban. Sebaliknya, individu yang secara alamiah merupakan budak dan kelas produsen, petani tidak masuk kategori warganegara. Singkat cerita, implementasi pemikiran Aristoteles terdapat pada pengertian, filsuf yang notabene mengusahakan kebajikan bisa disebut warganegara; sementara budak, bukan warganegara. Jadi ketika wewenang diberikan kepada individu secara meluas seperti golongan petani, golongan penghasil produsen, dan budak, mengakibatkan negara berada pada bentuk terburuknya. Hal ini ditegaskan oleh tulisan Aristoteles, Republik, yang menempatkan bentuk negara demokrasi sebagai bentuk terburuk suatu negara.

    Abad Pertengahan, Santo Agustinus (354-450) dan Thomas Aquinas (1229-1274)

Watak filsafat politik Santo Agustinus, bekas penganut Manikheisme dan pembuat onar semasa remajanya ini, bisa dikarakterkan menjadi tiga: filsafat murni, yakni membahas teori tentang waktu; filsafat tentang sejarah yang membahas City of God; dan teori tentang penebusan dosa.

Ia meletakkan bentuk negara politea yang berdasarkan dengan konsep ketuhanan sebagai konsep negara paling baik. Secara simbolis ia mengungkapkan bahwa penguasa tunggal, monarki, merupakan representasi Tuhan di dunia. Ia melihat wewenang representasi Tuhan tersebut mesti diikuti oleh rakyat umum atas dasar nilai kebaikan dan kepatuhan bersama. Secara singkat ini menyiratkan seolah Tuhan mengatur kehidupan ketatanegaraan, semacam bentuk negara kesemakmuran Kristiani. Sehingga ia melihat konsep negara dengan wewenang terletak pada rakyat luas—demokrasi, sebagai suatu negara yang tidak ideal karena negara demokrasi merupakan refleksi negara duniawi yang penuh dengan kekacauan, pertikaian, dan peperangan.

Dalam beberapa tulisannya dia memperkenalkan konsep pemahaman dalam memahami fenomena budak sebagai keadaan alamiah yang mesti diterima dengan lapang sebagai suatu keadaan dalam rangka upaya untuk menebus dosa. Masyarakat bawah menurutnya terdiri dari banyak orang yang masih berposisi budak. Sehingga ketika wewenang diberikan pada rakyat secara luas, maka wewenang tersebut cenderung dilaksanakan jauh dari cita-cita negara Tuhan.

Selain itu, Thomas Aquinas lahir 1225, terkenal dengan tulisannya Summa Theologika. Ia mengatakan bahwa hakikat manusia adalah berasal dari tuhan, yang mana tuhan kemudian menetapkan bahwa manusia adalah makhluk sosial dan politik. Dalam tulisanya ia juga sering mengusung pola hukum yang meliputi hukum kodrat, hukum alam dan hukum abadi. Menurutnya negara merupakan aktualisasi sifat alamiah manusia, sehingga terbentuknya suatu negara merupakan cerminan kebutuhan kodrati manusia.

Negara memuat serangkaian kewajiban salah satunya adalah mengarahkan setiap kelas-kelas sosial dalam masyarakat untuk mencapai tujuan bersama sesuai dengan doktrin kristiani meyakini keberadaan alam akhirat yang abadi.

Dalam hal ini, pemikiran Thomas Aquinas tidak jauh berbeda dengan Santo Agustinus. Keduanya memiliki pandangan yang sama bahwa negara mesti dibentuk oleh nilai ketuhanan. Bentuk negara yang sesuai dengan cita-cita keduanya yakni politea.

Thomas Aquinas berpikirn bahwa tentang kehendak bebas manusia dan tujuan akhir manusia yang selalu bermuara pada kebaikan, idealnya, pada tujuan ketuhanan. Meski tidak dijelaskan secara tersurat dalam berbagai tulisan baik Santo Agustinus dan Thomas Aquinas mengenai posisi demokrasi. sedikit sekali mereka menyinggung bentuk negara demokrasi. adapun Thomas Aquinas pernah mengatakan bahwa bentuk negara terbaik adalah monarki, dan yang terburuk adalah tirani denga tambahan demokrasi, setidaknya telah mendapatkan posisi yang lebih baik daripada dulu pada zaman filsuf. Menurutnya, demokrasi, meskipun buruk, tapi masih lebih baik daripada tirani.

    Abad Pencerahan, Machiavelli (1467-1527) dan Thomas Hobbes (1588-1679)

Machiavelli meletakkan, demokrasi di tempat terburuk, dan tirani di tempat terbaik dalam hirarki bentuk negara menurut pemikirannya. Hal berdasarkan pemikiran realis klasiknya yang berlebihan, ia beranggapan negara akan mengalami kejayaan manakala pemimpimnya terlepas dari nilai moral dan etika yang dulu pada abad pertengahan pernah diagung-agungkan. Akan tetapi, dalam lingkaran pemikirannya Machiavelli menyiratkan salah satu nilai demokrasi, yakni kebebasan individu. Menurutnya, kebebasan individu disediakan sepanjang tidak mengganggu keselamatan dan stabilitas tatanan politik. Walaupun Machiavelli tidak secara eksplisit menunjukkan nilai-nilai demokrasi, ia telah memulai anggapan bahawa sebenarnya nilai demokrasi itu tetap digenggam dalam bentuk negaranya. Akan tetapi, tetap, monarki absolut berada di tataran tertinggi bentuk negara terbaik berdasarkan pemikirannya.

Pemikiran ini selaras dengan Thomas Hobbes. Meninggalkan pemikiran ekstrem Machiavelli, Thomas Hobbes, meletakkan demokrasi di tempat terburuk, dan monarki di tempat tertinggi dalam hierarki bentuk negara sesuai dengan pemikirannya. Menurutnya pemerintahan akan sebaik-baiknya dijalankan jika kekuasaan terpusat pada satu orang saja. Akan tetapi, meletakkan adanya kewenangan dalam menjalankan kekuasaan tersebut. Kewenangan tersebut diperoleh dari kontrak sosial dimana sekelompok orang secara pasrah dan sadar memberikan seluruh kekuatan politiknya pada orang di luar kelompok mereka. kontrak sosial memiliki kemiripan struktur dengan bentuk negara demokrasi saat ini. Kemiripan tersebut dapat ditelusuri pada periode pemikir barat selanjutnya, yakni JJ Russeau melalui penerbitan lembaga-lembaga pemerintahan atau biasa dikenal dengan distribusi kekuasaan.

    Era Westphalia, John Locke  (1632-1704), Montesquieu (1689-1755), dan Jean Jacques Russeau (1712-1778)

Benih nilai-nilai demokrasi baru mendapatkan perhatian penuh oleh pemikir politik abad selanjutnya, ketika pertama kali John Locke mengungkapkan bahwa dalam keadaan alamiah, manusia lahir dengan persamaan dan kebebasan—kebebasan di sini masih tunduk dalam hukum alam yang bersifat normatif (hukum manusia).  Nilai kebebasan ini kemudian dituankan dalam kontrak sosialnya John Locke yang bersifat sangat liberal. John Locke memberikan dukungannya bahwa rakyat sipil atau warganegara juga termasuk dalam masyarakat politik. Oleh karena itu semestinya dilibatkan dalam setiap kegiatan politis pemerintahan. John Locke juga tampil dengan mengurusng konsep kekuasaan mayoritas. Namun, karena saat itu negara gereja masih mendominasi keadaan politik, maka pemikirannya ini masih berkembang secara rahasia.

‘Manusia dilahirkan bebas’, merupakan … JJ Russeau. Ia mengungkapkan adanya kehendak umum sebagai bentuk penyatuan sosial yang menciptakan pribadi kolektif baru, yaitu negara. JJ Russeau memperkenalkan untuk pertama kalinya konsep kedaulatan rakyat yang menempatkan kebebasan manusia sejajar dengan kehendak negara. kedaulatan rakyat ini bersifat tidak terbatas dan tidak dapat dibagi-bagi. Akan tetapi, kewenangan untuk menjalankan kedaulatan rakyat. Karena rakyat adalah subyek hukum maka dia harus menjadi pembautnya, semua anggota komunitas politik memiliki kedudukan sama dalam pembuatan hukum. Keadaulatan ada di tangan komunitas kapasita kolektif. Parlemen yang representatif dipilih oleh rakyat. Individu bebas dari pengaruh orang lain dalam menyatakan kehendak bebasnya. JJ Russeau mengatakan bahwa itdak ada sistem pemerintahan perwakilan, oleh karena itu, pemikirannya tentang konsep kedaulatan rakyat ini biasa dikenal dengan demokrasi langsung.

Berbeda dengan JJ Russeau, prinsip pemerintahan Montesquieu bisa dikategorikan ke dalam tiga kelompok,yakni republik, monarki, dan depotisme. Dalam Republik, Montesquieu mengatakan bahwa nilai penggerak pemerintahan adalah civic virtue dan spirit publik dari rakyat dalam cinta pada negara, kesediaan menundukkan kepentingan diri, patriotisme, kejujuran, keserhanaan dan persamaan. Demokrasi terletak di dalam republiknya Montesquieu, yang didefinisikan sebagai kedaulatan yan gdiserahkan pada lembaga kerakyatan.

Karakter pemerintahan, demokrasi, mencakup kedaulatan tidak bisa dilaksanakan kecuali oleh hak pilih rakyat dalampemilu, yang merupakan kehendak rakyat sendiri. Montesquieu melatarbelakangi konsepsi bahwa kedaulatan rakyat bisa dibagi (didistribusikan) melalui tiga, pemisahan kekuatan pada legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan fungsionalnya masing-masing.

    Abad Imperialisme dan Kolonialisme, Fredrich Hegel (1818-1883), Karl Marx (1770-1831), dan Fredrich Engels (1820-1895)

Pandangan Hegel mengenai demokrasi, menurutnya demokrasi pada masanya dan sedikit pada masa sekarang bukanlah hasil akhir dan terbaik dari bentuk negara yang ada. Hegel dikenal sebagai pemikir yang mengedepankan disposisinya berkaitan dengan nilai-nilai kristiani. Ia menarasikan bahwa negara bukanlah alat melainkan tujuan itu sendiri sehingga untuk kebaikan bersama, maka rakyat harus menjadi abdi negara.

Posisi individu dalam pemikirannya, tidak mungkin bertentangan dengan negara, akan tetapi keberadaannya tetap diakui. Pemirikirannya yang seperti ini berasa dari pengarku pemikiran Kristiani Protestanisme. Konsepnya yang meletakkan rakyat harus sebagai abdi negara seolah menjustifikasi adanya bentuk negara yang demokratis, dalam tanda kutip. Dalam tanda kutip, artinya dengan suatu persyaratan bahwa warganegara wajib dibekali dan memiliki pengetahuan ketatanegaraan untuk kemudian diberi wewenang untuk menjalankan kedaulatan. Akan tetapi, pemikirannya yang Kristiani Protestanisme seolah menegaskan negara dengan orientasi nilai kebaikan yang berlandaskan pada ketuhanan. Seolah Hegel nampak menempatkan kembali negara dengan kekuasaan di tangan abdi negara dan agama dalam posisi sejajar, dan equal.

Berasal dari keadaan politis yang bersangkut paut erat dengan mass produksi dan ekonomi yang menyebabkan terciptanya dua kelas yakni kelas pemilik modal produksi dan kelas yang tidak memiliki modal. Keberadaan dua kelas ini seringkali menciptakan pertentangan. Dilatarbelakangi oleh adanya dua kaum ini, kelas bawah terus menerus berusaha melawan kelas atas dengan menghilangkan kelas. Perjuangan kelas bawah untuk menghilangkan gap tersbut inilah yang seringkali identik dengan perjuangan menuju revolusi. Karl Marx tidak bicara secara khusus tentang demokrasi, sebaliknya ia mendukung adanya regulasi ketat pemerintah, yang mengusung persamaan semua kelas. Pahamnya yang demikian sering dikenal dengan nama sosialis. ia tidak memposisikan demokrasi di ujung tanduk, sebaliknya ia memposisikan kekuasaan mesti diletakkan terpusat. Adapun demokrasi bisa ditarik ke haluan Marx, demokrasi rakyat yang disebut juga demokrasi proletar, adalah demokrasi yang berhaluan Marxisme-komunisme, mencita-citakan kehidupan yang tidak mengenal kelas sosial, manusia dibebaskan dari keterkaitannya kepada kepemilikan pribadi tanpa penindasan dan paksaan. Tetapi untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan cara paksa atau kekerasan.
Macam-macam Demokrasi
Demokrasi terbagi ke dalam beberapa macam, antara lain sebagai berikut.
a. Macam-Macam Demokrasi Berdasarkan Fokus Perhatiannya

    Demokrasi formal : Demokrasi yang berfokus di bidang politik tanpa mengurangi sedikitpun kesenjangan ekonomi.
    Demokrasi Material : Demokrasi yang berfokus di bidang ekonomi tanpa mengurangi sedikitpun kesenjangan politik.
     Demokrasi Gabungan : Demokrasi ini gabungan dari demokrasi formal dan demokrasi material.

b. Macam-Macam Demokrasi Berdasarkan Penyaluran Kehendak Rakyat

    Demokrasi Langsung (Direct Democracy): Demokrasi yang secara langsung melibatkan rakyat untuk pengambilan keputusan terhadap suatu negara. Contohnya seperti pemilu.
    Demokrasi Tidak Langsung (Indirect Democracy): Demokrasi yang tidak secara langsung melibatkan seluruh rakyat suatu negara dalam pengambilan suatu keputusan. Contohnya seperti suatu keputusan yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD)

 Ciri-ciri Demokrasi
Ciri-ciri suatu negara yang memakai sistem demokrasi adalah sebagai berikut.
    Ciri Konstitusional yaitu merupakan ciri-ciri demokrasi yang berkaitan dengan kehendak, kepentingan maupun kekuasaan rakyat yang ditegaskan kedalam konstitusi maupun undang-undang yang berlaku di negara tersebut.
    Segala keputusan yang dilakukan pemerintah berdasarkan kehendak dan kepentingan rakyat.
    Memiliki ciri perwakilan, yakni ketika mengatur segala urusan negera, kedaulatan dan kekuasaan rakyat sudah diwakilkan kepada beberapa orang yang sebelumnya sudah dipilih oleh rakyat itu sendiri.
     Ciri pemilihan umum, yakni segala kegiatan politik dilakukan untuk memilih pihak yang akan menjalankan pemerintahan.
      Ciri Kepartaian yaitu merupakan ciri-ciri demokrasi yang berkaitan dengan partai yang menjadi sarana atau media sebagai bagian dalam pelaksaan sistem demokrasi.
    Ciri Kekuasaan yaitu merupakan ciri-ciri demokrasi yang berkaitan dengan adanya pembagian kekuasaan dan pemisahan kekuasaan.
    Ciri Tanggung Jawab yaitu merupakan ciri-ciri demokrasi yang berkaitan dengan tanggung jawab dari pihak yang telah terpilih.
Prinsip demokrasi
Prinsip umum sistem demokrasi antara lain sebagai berikut.

    Kebebasan diakui dan diterima oleh warga negara.
    Keterlibatan warga negara mengenai pembuatan keputusan politik .
    Kesamaan diantara setiap warga negara,
    Setiap warga negara mempunyai kesamaan dan kesetaraan dalam hak praktik politik.
Pengertian PrinsipPrinsip Demokrasi
Prinsip-Prinsip Demokrasi dan Penjelasannya
Prinsip Prinsip Demokrasi - Prinsip merupakan kaidah atau ketentuan dasar yang harus dipegang dan ditaati. Prinsip demokrasi adalah beberapa kaidah dasar yang harus ada dan ditaati oleh negara penganut pemerintahan demokratis. Adapun prinsip-prinsip demokrasi tersebut sebagai berikut:
Prinsip-Prinsip Demokrasi Tersebut Sebagai Berikut;
1. Negara Berdasarkan Konstitusi
Pengertian negara demokratis adalah negara yang pemerintah dan warganya menjadikan konstitusi sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi dapat diartikan sebagai undang-undang dasar atau seluruh peraturan hukum yang berlaku di sebuah negara. Sebagai prinsip demokrasi, keberadaan konstitusi sangat penting sebab dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Konstitusi berfungsi untuk membatasi wewenang penguasa atau pemerintah serta menjamin hak rakyat. Dengan demikian, penguasa atau pemerintah tidak akan bertindak sewenang-wenang kepada rakyatnya dan rakyat tidak akan bertindak anarki dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajibannya.

2. Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak dasar atau hak pokok yang dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia mencakup hak untuk hidup, kebebasan memeluk agama, kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, serta hak-hak lain sesuai ketentuan undang-undang. Perlindungan terhadap HAM merupakan salah satu prinsip negara demokrasi karena perlindungan terhadap HAM pada hakikatnya merupakan bagian dari pembangunan negara yang demokratis.

3. Kebebasan Berserikat dan Mengeluarkan Pendapat
Salah satu prinsip demokrasi adalah mengakui dan memberikan kebebasan setiap orang untuk berserikat atau membentuk organisasi. Setiap orang boleh berkumpul dan membentuk identitas dengan organisasi yang ia dirikan. Melalui organisasi tersebut setiap orang dapat memperjuangkan hak sekaligus memenuhi kewajibannya. Sejarah demokrasi memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk berpikir dan menggunakan hati nurani serta menyampaikan pendapat dengan cara yang baik. Paham demokrasi tidak membatasi seseorang untuk berpendapat, tetapi mengatur penyampaian pendapat dengan cara bijak.

4. Pergantian Kekuasaan Secara Berkala
Gagasan tentang perlunya pembatasan kekuasaan dalam prinsip demokrasi dicetuskan oleh Lord Acton (seorang ahli sejarah Inggris). Lord Acton menyatakan bahwa pemerintahan yang diselenggarakan manusia penuh dengan kelemahan. Pendapatnya yang cukup terkenal adalah "ower tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely". Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan, tetapi manusia yang memiliki kekuasaan tidak terbatas pasti akan menyalahgunakannya.

Pergantian kekuasaan secara berkala bertujuan untuk membatasi kekuasaan atau kewenangan penguasa. Pergantian kekuasaan secara berkala dapat meminimalisasi penyelewengan dalam pemerintahan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pergantian seorang kepala negara atau kepala daerah dapat dilakukan dengan mekanisme pemilihan umum yang jujur dan adil.

Prinsip-Prinsip Demokrasi
5. Adanya Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
Peradilan bebas adalah peradilan yang berdiri sendiri dan bebas dari campur tangan pihak lain termasuk tangan penguasa. Pengadilan bebas merupakan prinsip demokrasi yang mutlak diperlukan agar aturan hukum dapat ditegakkan dengan baik. Para hakim memiliki kesempatan dan kebebasan untuk menemukan kebenaran dan memberlakukan hukum tanpa pandang bulu. Apabila peradilan tidak lagi bebas untuk menegakkan hukum dapat dipastikan hukum tidak akan tegak akibat intervensi atau campur tangan pihak di luar hukum oleh karena itu, peradilan yang bebas dari campur tangan pihak lain menjadi salah satu prinsip demokrasi.

Peradilan tidak memihak artinya peradilan yang tidak condong kepada salah satu pihak yang bersengketa di muka persidangan. Posisi netral sangat dibutuhkan untuk melihat masalah secara jernih dan tepat Kejernihan pemahaman tersebut akan membantu hakim menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya Selanjutnya, hakim dapat mempertimbangkan keadaan yang ada dan menerapkan hukum dengan adil bagi pihak beperkara.

6. Penegakan Hukum dan Persamaan Kedudukan Setiap Warga Negara di Depan Hukum
Hukum merupakan instrumen untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, pelaksanaan kaidah hukum tidak boleh berat sebelah atau pandang bulu. Setiap perbuatan melawan hukum harus ditindak secara tegas. Persamaan kedudukan warga negara di depan hukum akan memunculkan wibawa hukum. Saat hukum memiliki wibawa, hukum tersebut akan ditaati oleh setiap warga negara.

Prinsip-Prinsip Demokrasi
7. Jaminan Kebebasan Pers
Kebebasan pers merupakan salah satu pilar penting dalam prinsip prinsip demokrasi. Pers yang bebas dapat menjadi media bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi serta memberikan kritikan dan masukan kepada pemerintah dalam pembuatan kebijakan publik. Di sisi lain, pers juga menjadi sarana sosialisasi program-program yang dibuat pemerintah. Melalui pers diharapkan dapat terjalin komunikasi yang baik antara pemerintah masyarakat.

Kelebihan dan Kekurangan Demokrasi

Kelebihan atau Keuntungan Sistem Demokrasi

    Kesetaraan hak membuat setiap masyarakat dapat ikut serta dalam sistem politik .
    Pemegang kekuasaan dipilih menurut suara dan keinginan rakyat.
    Mencegah terjadinya monopoli kekuasaan.

Kelemahan atau Kekurangan Demokrasi
    Kepercayaan rakyat bisa dengan mudah digoyangkan melalui pengaruh-pengaruh negatif. Contohnya media yang tidak netral dalam menyampaikan informasi.
    Kesetaraan hak dianggap tidak adil karena menurut para ahli, setiap orang mempunyai pengetahuan politik yang tidak sama.
    Konsentrasi pemerintah yang sedang menjabat akan berkurang ketika mendekati pemilihan umum berikutnya.

Membangun Demokrasi
     Dalam membangun demokrasi, negara Indonesia telah melewati masa transisi dari demokrasi semu (masa orde baru) ke demokrasi yang sesungguhnya. Dalam dekade terakhir negara ini banyak mengalami kemajuan dalam berdemokrasi.
     Para pimpinan lembaga negara sepakat bahwa kunci sukses membangun demokrasi Indonesia adalah dengan memperkuat empat pilar kebangsaan,  yaitu:
    Pancasila
    UUD 1945
    NKRI
    Bhinneka Tunggal Ika.
       Empat pilar tersebut merupakan pondasi negara ini. Perjuangan gigih dari founding father (Bapak pendiri) bangsa ini telah dicetuskan untuk membangun demokrasi. Dengan memperkuat empat pilar tersebut diharapkan agar para Pimpinan Lembaga Negara dapat mengatasi dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini.
       Kita tentu mengharapkan kesemuanya dapat berjalan seimbang sehingga tercipta suasana yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peraturan sebagus apapun kalau tidak ditaati dan dipatuhi, maka ia tetap tidak akan sempurna. Sedangkan peraturan yang sederhana tetapi ditaati dan dipatuhi, maka ia akan menjadi peraturan yang sempurna dan membawa kemaslahatan.
      Negara sangat dibutuhkan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Dengan memahami dan melaksanakan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang terangkum dalam empat pilar kebangsaan. Maka cukup dengan empat pilar tersebut bila semuanya menjalankan dengan baik dan tulus, maka dapat dipastikan Indonesia akan menjadi negara besar dan berdaulat penuh.
       Dari banyaknya negara demokrasi modern saat ini, seluruh rakyatnya masih merupakan satu kekuasaan yang berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan (DPR), hal ini yang disebut dengan demokrasi perwakilan. Konsep demokrasi perwakilan muncul dari ide-ide dan institusi yang berkembang pada abad pertengahan Eropa, era pencerahan (renaissance), dan revolusi Perancis dan Amerika Serikat.

Demoratisasi
Demokratisasi adalah transisi ke rezim politik yang lebih demokratis. Transisi ini bisa terjadi dari rezim otoriter ke demokrasi menyeluruh, dari sistem politik otoriter ke semi-demokrasi, atau dari sistem politik semi-otoriter ke demokrasi.
Demokratisasi adalah transisi ke rezim politik yang lebih demokratis. Transisi ini bisa terjadi dari rezim otoriter ke demokrasi menyeluruh, dari sistem politik otoriter ke semi-demokrasi, atau dari sistem politik semi-otoriter ke demokrasi. Hasilnya bisa menguat seperti di Britania Raya atau mundur seperti di Argentina. Berbagai pola demokratisasi digunakan untuk menjelaskan fenomena politik lain, misalnya apakah negara terlibat dalam perang atau ekonominya tumbuh. Demokratisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pembangunan ekonomi, sejarah, dan masyarakat madani. Hasil ideal dari demokratisasi adalah menjamin rakyat punya hak memilih dan suara dalam sistem politik negaranya.
Pengertian Demokratisasi

     Demokratisasi adalah suatu perubahan baik itu perlahan maupaun secara cepat kearah demokrasi. Demokratisasi ini menjadi tuntutan global yang tidak bisa dihentikan. Jika demokratisasi tidak dilakukan, maka bayaran yang harus diterima adalah balkanisasi, perang saudara yang menumpahkan darah, dan kemunduran ekonomi dengan sangat parah (BJ Habibie 2005).
     Demokratisai disuatu system pemerintahan memerlukan proses yang tidaklah mudah. Pada saat perubahan terjadi, selalu ada orang yang tidak ingin melakukan perubahan terus menerus, atau ada manusia yang tidak mampu menyesuaikan diri.Dalam kontes demokratisasi, peran individu yang mampu menerima perubahan itu sangat penting. Untuk itulah, individu harus punya tanggung jawab. Apalagi globalisasi yang terus mendorong perubahan yagn tidak bisa ditahan oleh Negara manapun.
       Demokratisasi biasanya terjadi ketika ekspektasi terhadap demokrasi muncul dari dalam Negara sendiri, karna warga negaranya melihat system politik yang lebih baik, seperti yang berjalan dinegara demokrasi lain yang telah mapan, akan bisa juga dicapai oleh Negara tersebut. Dengan kata lain, pengaruh internasional dating sebagai sebuah inpirasi yang kuat bagi warga Negara didalam Negara itu.
      Sebuah Negara yang sedang menjalani demokratisasi sangat mudah dipengaruhi oleh factor – factor eksternal. Pengaruh internasional dari sebuah proses demokratisasi bisa terjadi dalam beberapa bentuk, seperti : contagion, control dan conditionality.
      Contagion terjadi ketika demokratisasi disebuah Negara mendorong gelombang demokratisasi dinegara lain. Proses demokratisasi di Negara – Negara eropa timur setelah perang dingin usai dan juga gelombang demokratisasi di negara – Negara amerika latin pada tahun 1970 an menajdi contoh signifikan.
     Mekanisme control terjadi ketika sebuah pihak diluar Negara berusaha menerapkan demokrasi dinegara tersebut. Misalnya Doktrin Truman 1947 mengharuskan yunani untuk memenuhi beberapa kondisi untuk mendapatkan status sebagai “Negara demokrasi” dan karenanya berhak menerima bantuan anti komunisme dari amerika serikat.
      Conditionality yaitu tindakan yang dilakukan organisasi internasional yang memberi kondisi – kondisi tertentu yang harus dipenuhi Negara penerima bantuan.

Demokrasi Di Indonesia 
     Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, “migrasi” para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat disini para “migran politik’ tersebut antara lain; Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.
     Di Indonesia, fenomena demokrasi dapat ditemui dalam sejarah perkembangan politik pasca kolonial. Fokus demokrasi pada masa demokrasi parlementer (1955-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965) bentukkan Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila masa Orde Baru, dan karakteristik demokrasi setelah berakhirnya kekuasaan otoritarian (periode transisi dan konsolidasi demokrasi 1998-2007).
Masa Demokrasi Liberal
     Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.
     Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.
   Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni “gonta-ganti” pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.
    Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh “anti demokrasi”. Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Namun begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang keladi kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang menempatkan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal sebagai sasaran tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya. Kebobrokan demokrasi liberal yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab utama kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari krisis politik tersebut adalah “mengubur” demokrasi liberal yang dalam pandangannya tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi, “parliamentary democracy is not good for revolution”.
Demokrasi Diktatorial (dibawah Soekarno dan Soeharto)
    Dalam amanatnya kepada sidang pleno Konstitante di Bandung 22 April 1959, Soekarno dengan lugas menyerang konstituante, praktik demokrasi liberal, dan menawarkan kembali konsepsinya tentang demokrasi Indonesia yang disebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) .
    Demokrasi Terpimpin Soekarno kemudian runtuh setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkjan unsur komunis (PKI) dan angkatan bersenjata, yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncul kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen. Soeharto yang menyatakan diri sebagai “Orde Baru”.
   Konsepsi demokrasi Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak cukup jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila, dalam konsep yang sangat abstrak. Pada dasarnya, konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik berangkat yang sama dengan konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli Indonesia. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang sehat dan bertanggungjawab, berdasarkan moral dan pemikiran sehat, berlandaskan pada suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila.
     Langkah politik awal yang dilakukan Soeharto untuk membuktikan bahwa dirinya tidak anti demokrasi adalah dengan merespons penjadwalan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), sebagaimana dituntut oleh partai-partai politik. Soeharto sendiri pada hakekatnya tidak menghendaki pemilu dengan segera, sampai dengan terkonsolidasikannya “kekuatan Orde Baru”. Sebagai upaya lanjut mengatasi “peruncingan ideologi” Soeharto melakukan inisiatif penggabungan partai politik pada 1973, dari 10 partai menjadi 3 partai politik (Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri yang notabene, dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa tidak bersedia menyatakan diri sebagai parpol melainkan organisasi kekaryaan. Fusi atau penggabungan partai ini merupakan wujud kekesalan Soeharto terhadap parpol dan hasratnya untuk membangun kepolitikan “kekeluargaan”. Menjaga citra sebagai “negara demokrasi” terus dijaga oleh rezim Orde Baru.
    Terhadap tuntutan demokrasi yang berkembang kuat sejak pertengahan 1980-an, sebuah momen perkembangan yang oleh Huntington dinamakan “gelombang demokrasi ketiga” Soeharto menjawab dengan kebijakan “mulur mungkret” liberalisasi politik terbatas, yang oleh para pengkritik disebut sebagai demokrasi seolah-olah (democracy as if), tetapi sekaligus mempertahankan instrumen represif terhadap kelompok yang mencoba-coba keluar dari “aturan main” yang ditentukan rezim.
    Praktik democracy dictatorship yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam krisis bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parah menjadikan porak porandanya ekonomi nasional yang ditandai dengan runtuhnya nilai mata uang rupiah, inflasi, tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan semakin besarnya pengangguran. Krisis ekonomi memacu berlangsungya aksi-aksi protes dikalangan mahasiswa menuntut Soeharto mundur.
Demokratisasi Pasca Orde Baru
    Berakhirnya Orde Baru melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat. Berbagai kelompok dengan latar belakang ideologi yang beranekaragam, mulai dari muslim radikal, sosialis, nasionalis, muncul dan bersaing untuk mendapatkan pengaruh politik. Sebelum pemilu multi partai 1999 diselenggarakan, berlangsung pertikaian di kalangan pro demokrasi soal bagaimana transisi demokrasi harus berjalan dan soal memposisikan elite-elite lama dalam proses transisi.
     Beberapa kemajuan penting dalam arsitektur demokrasi yang dilakukan pemerintahan Habibie antara lain; adanya kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, pencabutan beberapa UU politik yang represif dan tidak demokratis, dan netralitas birokrasi dan militer dari politik praktis.
     Kesuksesan dalam melangsungkan demokrasi prosedural ini merupakan prestasi yang mendapatkan pengakuan internasional, tetapi di lain pihak, transisi juga ditandai dengan meluasnya konflik kesukuan, agama, dan rasial yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air sejak 1998. Misalnya di Ambon, Poso, Sambas dan lainnya.
     Pemerintahan baru hasil pemilu 1999 yang memunculkan pasangan Abdurrahman Wahid-Megawati jauh dari performance yang optimal. Wahid pada akhirnya dipaksa lengser setelah kurang dari dua tahun berkuasa. Lengsernya Wahid yang terpilih dengan legitimasi demokratis dan dikenal luas sebagai pendukung militan demokrasi, menjadi sebuah tragedi transisi demokrasi.
    Praktik berdemokrasi di Indonesia masa transisi mendapatkan pengakuan luas dari dunia internasional. Dalam indeks yang disusun oleh Freedom House tentang hak politik dan kebebasan sipil Indonesia sejak pemilu 1999 hingga masa konsolidasi demokrasi saat ini berhasil masuk dalam kategori “negara bebas”. Hal ini berbeda dengan kepolitikan masa Orde Baru yang dikategorikan sebagai dengan kebebasan yang sangat minimal (partly free).
      Problem demokrasi yang populer belakangan ini adalah, dapatkah demokrasi mampu mengantar bangsa ini ke arah sejahtera? Ataukah sebaliknya, demokrasi menjadi amat mahal, ketika biaya Pemilu dan Pilkada membutuhkan ongkos mahal, baik ongkos pemilu, maupun ongkos sosial akibat kerusuhan pasca pemilu.
Referens;
Budiyanto , 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA Kelas XI. Jakarta , Erlangga.
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson,1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta, ) h. 9-10.
   Silvia Bolgherini, "Participation" dalam Mauro Calise and Theodore J. Lowi, Hyperpolitics: An Interactive Dictionary of Political Science Concept (Chicago: The University of Chicago, 2010) p. 169.
Oscar Garcia Luengo,2006. E-Activism New Media and Political Participation in Europe, (CONFines 2/4 agosto-diciembre )
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi ... op.cit.
Thomas M. Magstadt, Understanding Politics (Belmont: Cengage Learning, 2012) pp. 273-82.
Christina Holtz-Bacha, Political Disaffection, dalam dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political Communication, (California : Sage Publications, 2008) p.577-9.
Jan W. van Deth, Political Participation, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2.
Kai Arzheimer, Political Efficacy, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2. p. 579-80.