Periodisasi jabatan lembaga kepresidenan sering menimbulkan polemik.
Namun, sebelum masuk terlalu dalam, perlu diperhatikan beberapa hal yang
boleh jadi bersifat mendasar.
Penulis mengawali dengan Pertanyaan secara umum dengan merujuk pada dari beberapa tokoh dan illustrasi dari negara lain diluar RI.
Siapakah yang
menduduki jabatan lembaga kepresidenan. Apakah cukup presiden dan wakil
presiden saja. Ataukah presiden dan wakil presiden serta pejabat
presiden (atau sebutan lainnya).
Apakah dapat diakui suatu pemerintahan ganda, dalam artian pada saat yang sama terdapat dua lembaga kepresidenan.
Apakah penentuan naik dan turunnya seorang tokoh dalam lembaga
kepresidenan hanya berdasarkan aturan dalam konstitusi. Atau berdasar
konstitusi dan surat pengangkatan/pelantikan (atau sebutan lain).
Ataukah lagi hanya berdasarkan pada ketokohan semata, dalam artian satu
tokoh dihitung satu masa jabatan tanpa memedulikan berapa kali ia
menjabat.
Perlukah suatu daftar resmi dari negara untuk tokoh
yang menduduki lembaga kepresidenan beserta periodisasinya agar dapat
diketahui secara pasti.
Sebagai ilustrasi, dapat
dilihat pada kasus Presiden Filipina. Ilustrasi ini juga didasarkan pada
sisi historis, sebab Supomo waktu menjelaskan UUD 1945 ia membandingkan
UUD Indonesia dengan Konstitusi Filipina. Diosdado Pangan Macapagal
adalah Presiden Filipina urutan kesembilan sekaligus presiden kelima
dari republik ketiga negara Filipina. Satu yang dapat dilihat disini
bahwa ia menduduki dua buah daftar dengan nomor urut yang berbeda.
Presiden Macapagal pada 1962 mengubah perayaan resmi hari kemerdekaan
dari 4 Juli (hari ketika Amerika Serikat memberikan kemerdekaan Filipina
pada 1946, hari yang juga menjadi peringatan kemerdekaan AS) menjadi 12
Juni (hari ketika Emilio Aguinaldo mengumumkan kemerdekaan dari Spanyol
pada 1898). Keputusan ini sebagai keputusan hukum tentang waktu yang
telah ditetapkan sebelumnya. Ia juga mengakui Jose P. Laurel yang
dijadikan Presiden Filipina oleh tentara pendudukan Jepang, sebagai
presiden resmi negara itu. Sebelumnya Laurel tidak diakui oleh
pemerintahan-pemerintahan Filipina setelah Perang Dunia II, karena
dianggap tidak mempunyai status hukum apapun namun mengakui dua presiden
yang berada dalam pengasingan di Amerika. Di sini dapat dilihat bahwa
pemerintahan pengasingan diakui dan pemerintahan ganda juga diakui.
Lebih dari itu Macapagal menetapkan suatu keputusan resmi mengenai
pengakuan tokoh yang menjabat dalam lembaga kepresidenan Filipina, Ng
Pangulo Ng Pilipinas.
Periodisasi masa jabatan maupun
urutan tokoh yang duduk dalam lembaga kepresidenan sering menimbulkan
ketidaksepakatan. Berikut akan diusahakan untuk memilah periodisasi dan
urutan tokoh yang menjabat lembaga kepresidenan (presiden dan wakil
presiden) sesuai kronologi tokoh saat memangku jabatan untuk yang
pertama kalinya.
Soekarno memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan presiden, antara lain:
Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan titik
akhir keluarnya Supersemar, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus
1945 hingga 11 Maret 1966
Jika seluruh masa jabatan dihitung
sebagai satu kesatuan dengan titik akhir pemakzulan resmi dari MPRS,
maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 22 Februari
1967
Jika RIS dihitung terpisah dengan titik akhir pemakzulan
resmi dari MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945
hingga 27 Desember 1949, 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950, dan 15
Agustus 1950 hingga 22 Februari 1967
Jika RIS dihitung
terpisah dan masa PDRI dihitung terpisah dengan titik akhir pemakzulan
resmi dari MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945
hingga 18 Desember 1948, 13 Juli 1949 hingga 27 Desember 1949, 27
Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950, dan 15 Agustus 1950 hingga 22
Februari 1967
Jika RIS dihitung terpisah, masa PDRI dihitung
ganda, dan naik turun jabatan berdasarkan pada konstitusi dan ketetapan
MPRS dengan titik akhir pemakzulan resmi dari MPRS, maka masa jabatannya
adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949, 27 Desember 1949
hingga 15 Agustus 1950, 15 Agustus 1950 hingga 18 Mei 1963, dan 18 Mei
1963 hingga 22 Februari 1967
Mohammad Hatta memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan wakil presiden, yaitu:
Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan
mengabaikan jeda RIS maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945
hingga 1 Desember 1956
Jika jeda RIS dihitung dan naik-turun
jabatan berdasarkan pada konstitusi maka masa jabatannya adalah sejak 18
Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949 dan xx/xx/1950 hingga 1 Desember
1956.[33].
Syafruddin Prawiranegara memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan, yaitu:
Jika jabatan “Ketua Pemerintahan Darurat” diakui berkedudukan setara
dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden”
diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan dengan titik awal
telegram yang dikirim lembaga kepresidenan dari Yogyakarta, maka masa
jabatannya adalah sejak 18 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949
Jika jabatan "Ketua Pemerintahan Darurat" diakui berkedudukan setara
dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden”
diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan dengan titik awal
pembentukan PDRI di Sumatera Barat, maka masa jabatannya adalah sejak 22
Desember 1948 hingga 13 Juli 1949
Jika jabatan “Ketua
Pemerintahan Darurat” tidak diakui berkedudukan setara dengan jabatan
“Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” tidak diakui sebagai
jabatan dalam lembaga kepresidenan maka masa jabatannya: tidak
diakui/tidak pernah ada.
Assaat memiliki 2 kemungkinan periodisasi jabatan, yaitu:
Jika jabatan “Pemangku Jabatan Presiden diakui” diakui berkedudukan
setara dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat
Presiden” diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan serta
kedudukan RI yang beribukota di Yogyakarta diakui berdiri sendiri (walau
hanya negara bagian) selama periode RIS (memiliki ketatanegaraan yang
berbeda dengan RIS), maka masa jabatannya adalah sejak 27 Desember 1949
hingga 15 Agustus 1950
Jika jabatan “Pemangku Jabatan
Presiden” tidak diakui berkedudukan setara dengan jabatan “Pejabat
Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” tidak diakui sebagai jabatan
dalam lembaga kepresidenan serta kedudukan negara bagian RI yang
beribukota di Yogyakarta tidak diakui berdiri sendiri selama periode RIS
(telah lebur menjadi RI), maka masa jabatannya tidak diakui.
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia 2004-2009
Soeharto memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan, antara lain:
Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan titik
awal keluarnya supersemar, maka masa jabatannya adalah sejak 11 Maret
1966 hingga 21 Mei 1998
Jika seluruh masa jabatan dihitung
sebagai satu kesatuan dengan titik awal pengangkatan resmi sebagai
pejabat presiden oleh MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 22
Februari 1967 hingga 21 Mei 1998
Jika naik turun jabatan
berdasarkan UUD 1945 dan ketetapan MPR(S) serta masa Pejabat Presiden
dihitung, maka masa jabatannya adalah sejak 22 Februari 1967 hingga 27
Maret 1968, 27 Maret 1968 hingga 24 Maret 1973, 24 Maret 1973 hingga 23
Maret 1978, 23 Maret 1978 hingga 11 Maret 1983, 11 Maret 1983 hingga
1988, 11 Maret 1988 hingga 1993, 11 Maret 1993 hingga 10 Maret 1998, dan
10 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998
Jika naik turun jabatan
berdasarkan UUD 1945 dan ketetapan MPR(S) serta masa Pejabat Presiden
tidak dihitung, maka masa jabatannya adalah sejak 27 Maret 1968 hingga
24 Maret 1973, 24 Maret 1973 hingga 23 Maret 1978, 23 Maret 1978 hingga
11 Maret 1983, 11 Maret 1983 hingga 1988, 11 Maret 1988 hingga 1993, 11
Maret 1993 hingga 10 Maret 1998, dan 10 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998
Hamengkubuwana IX memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 24 Maret 1973 hingga 23 Maret 1978.
Adam Malik memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 23 Maret 1978 hingga 11 Maret 1983.
Umar Wirahadikusumah memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1983 hingga 1988.
Sudharmono memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1988 hingga 1993.
Try Sutrisno memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1993 hingga 1998.
Baharuddin Jusuf Habibie memiliki periode jabatan:
Sebagai wakil presiden sejak 11 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998.
Sebagai presiden sejak 21 Mei 1998 hingga 19 Oktober 1999.
Abdurrahman Wahid memiliki 1 periode jabatan presiden yaitu sejak 19 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.
Megawati Soekarnoputri memiliki periode jabatan:
Sebagai wakil presiden sejak 19 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.
Sebagai presiden sejak 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004.
Hamzah Haz memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 26 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004.
Susilo
Bambang Yudhoyono memiliki 2 periode jabatan presiden yaitu sejak 20
Oktober 2004 hingga 2009 dan sejak 20 Oktober 2009 hingga 2014.
Muhammad
Jusuf Kalla memiliki 2 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 20
Oktober 2004 hingga 2009 dan sejak 20 Oktober 2014 hingga sekarang.
Boediono memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2009 hingga 2014.
Joko Widodo memiliki 1 periode jabatan presiden yaitu sejak 20 Oktober 2014 hingga sekarang.
Untuk
mengetahui urutan tokoh atau urutan masa jabatan lembaga kepresidenan
yang ke berapakah sekarang yang menjabat maka tinggal merangkai
masing-masing masa jabatan tokoh. Perlu hati-hati dalam merangkai
beberapa tokoh karena akan ada over lapping masa tugas dan tidak mungkin
over lapping masa tugas. Di sini akan diberi dua contoh berbeda.
Contoh Pertama: Sukarno menurut versi (2), Suharto versi (2), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.
Pejabat ke Nama pejabat Masa jabatan Jabatan ke Periode ke
1 Soekarno 18/08/1945-22/02/1967
2 Soeharto 22/02/1967-21/05/1998
3 Habibie 21/05/1998-19/10/1999
4 Abdurrahman Wahid 19/10/1999-23/07/2001
5 Megawati Soekarnoputri 23/07/2001-20/10/2004
6 SBY 20/10/2004-20/10/2014
7 Joko Widodo Sejak 20/10/2014
Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Indonesia 2009-2014
Contoh Kedua: Soekarno menurut versi (5), Syafruddin (1), Assaat (1), Suharto versi (3), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.
Pejabat ke Nama pejabat Masa jabatan Jabatan ke Periode ke
1 Soekarno 18/08/1945-27/12/1949 1 1
2 Syafruddin Prawiranegara (PDRI) 22/12/1948-13/07/1949 1 2
1 Soekarno (RIS) 27/12/1949-15/08/1950 2 3
3 Assaat (RI) 27/12/1949-15/08/1950 1 4
1 Soekarno 15/08/1950-18/05/1963 3 5
1 Soekarno 18/05/1963-22/02/1967 4 6
4 Soeharto 22/02/1967-27/03/1968 1 7
4 Soeharto 27/03/1968-24/03/1973 2 8
4 Soeharto 24/03/1973-23/03/1978 3 9
4 Soeharto 23/03/1978-11/03/1983 4 10
4 Soeharto 11/03/1983-11/03/1988 5 11
4 Soeharto 11/03/1988-11/03/1993 6 12
4 Soeharto 11/03/1993-10/03/1998 7 13
4 Soeharto 10/03/1998-21/05/1998 8 14
5 Habibie 21/05/1998-19/10/1999 1 15
6 Abdurrahman Wahid 19/10/1999-23/07/2001 1 16
7 Megawati Soekarnoputri 23/07/2001-20/10/2004 1 17
8 SBY 20/10/2004-20/10/2009 1 18
8 SBY 20/10/2009-20/10/2014 2 19
9 Joko Widodo Sejak 20/10/2014 1 20
Kedua contoh di atas memperlihatkan sebuah perbedaan yang amat mencolok. Dan itu pun baru contoh dari dua versi.
Periode 1999–2002
K. H. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001
Masa
republik kelima adalah periode transisi ketatanegaraan akibat proses
perubahan konstitusi UUD 1945 secara fundamental. Secara tepatnya
periode ini berlangsung antara 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002.
Periode ini muncul sebagai akibat dari gelombang people power yang
dikenal dengan reformasi 1998. Oleh karena perubahan kekuasaan, susunan
dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga
kepresidenan dilakukan secara bertahap maka pembahasan periode ini
dilakukan menurut tahapan perubahan konstitusi .
Pada
tahun 1999 sebagai akibat perubahan I konstitusi maka terdapat perubahan
kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga
kepresidenan yaitu:
Jabatan lembaga kepresidenan dibatasi hanya untuk dua kali masa jabatan [pasal 7];
Presiden dan wakil presiden dapat bersumpah di depan pimpinan MPR dan
Mahkamah Agung jika parlemen tidak dapat bersidang [pasal 9 (2)];
Presiden tidak lagi memegang kekuasaan legislatif dengan membentuk UU,
melainkan hanya berwenang mengajukan RUU kepada parlemen dan ikut
membahasnya [pasal 5 (1) dan pasal 20 (1) – (3)];
Presiden harus mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dengan parlemen [pasal 20 (4)];
Presiden tidak dapat lagi memveto RUU dari parlemen, sebab klausul tersebut dihilangkan [pasal 21];
Presiden harus mendengar pertimbangan DPR saat mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 13 (2) dan (3)];
Presiden harus mendengar pertimbangan Mahkamah saat memberi grasi dan
rehabilitasi serta DPR saat memberi amnesti dan abolisi [pasal 14];
Presiden harus tunduk pada UU saat memberi gelar dan tanda kehormatan [pasal 15].
Pada
tahun 2000 sebagai akibat perubahan II konstitusi maka terdapat
perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga
kepresidenan yaitu:
Presiden hanya dapat menunda
pengesahan RUU yang telah disetujui bersama dengan parlemen paling lama
tiga puluh hari [pasal 20 (5)].
Pada tahun 2001 sebagai
akibat perubahan III konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan,
susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban
lembaga kepresidenan yaitu:
Calon presiden dan
calon wakil presiden harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk menjadi
presiden dan wakil presiden [pasal 6];
Presiden dan wakil
presiden tidak lagi dipilih oleh MPR melainkan melalui pemilu dengan
ketentuan yang lebih rinci [pasal 6A (1) – (3) dan (5)];
Presiden dan wakil presiden terpilih dilantik oleh MPR [pasal 3 (3/2)];
Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan oleh MPR dalam
masa jabatannya dengan syarat-syarat pemberhentian tertentu [pasal 3
(4/3) dan pasal 7A] setelah melalui proses-proses tertentu [pasal 7B];
Presiden tidak dapat membekukan dan membubarkan parlemen [pasal 7C];
Presiden mengusulkan dua calon wakil presiden untuk dipilih MPR jika terjadi kekosongan jabatan [pasal 8 (2)];
Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat
tertentu harus dengan persetujuan parlemen [pasal 11 (2)];
Presiden harus tunduk pada UU dalam membentuk, mengubah, dan membubarkan kementerian dalam kabinet [pasal 17 (4)];
Presiden mengajukan RUU APBN kepada parlemen [pasal 23 (2) dan (3)];
Presiden meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang telah dipilih DPR [pasal 23F (1)];
Presiden menetapkan Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang diusulkan oleh
Komisi Yudisial dan telah disetujui DPR [pasal 24A (3)];
Presiden mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR [pasal 24B (3)];
Presiden menetapkan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi yang diusulkan oleh MA, DPR, dan Presiden [pasal 24C (3)].
Pada
tahun 2002 sebagai akibat perubahan IV konstitusi maka terdapat
perubahan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta
hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:
Proses pemilihan presiden dan wakil presiden dengan persyaratan tertentu [pasal 6A (4)];
Pelaksana tugas kepresidenan dan pemilihan serta pengangkatan presiden dan wakil presiden yang baru oleh MPR [pasal 8 (3)];
Presiden membentuk dewan pertimbangan dengan UU [pasal 16].
Beberapa
hal yang menjadi catatan dalam periode republik V ini, antara lain,
adalah, pertama, untuk pertama kalinya presiden dipilih oleh MPR dari
calon yang berjumlah lebih dari satu orang. Kedua, presiden membekukan
parlemen dan berakibat dimakzulkannya presiden. Ketiga, presiden wajib
menyampaikan laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan kepada MPR.
Sebenarnya
periode transisi ini tidak berakhir pada tahun 2002 melainkan pada
tahun 2004. Namun karena acuannya adalah konstitusi maka periode ini
dicukupkan pada tahun 2002. Periode transisi selanjutnya dibahas pada
bagian republik VI.
Sejak 2002
Dr(HC), Hj. Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Indonesia 1999-2001 dan Presiden Indonesia 2001-2004
Masa
republik keenam adalah periode diberlakukannya UUD 1945 setelah
mengalami proses perubahan ketatanegaraan yang fundamental yang tetap
dinamakan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini dihitung mulai 10
Agustus 2002 sampai terjadinya perubahan yang fundamental terhadap
konstitusi.
Dengan perubahan I-IV konstitusi selama
masa republik V maka terjadi perubahan yang sangat fundamental dari segi
ketatanegaraan. Dan dapat dikatakan lembaga-lembaga negara, termasuk
lembaga kepresidenan, mendapatkan kekuasaan, susunan dan kedudukan,
tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban yang baru menurut
“konstitusi yang baru”.
Menurut UUD 1945, lembaga
kepresidenan bersifat personal dan terdiri atas seorang presiden dan
seorang wakil presiden [pasal 4 (2); 3 (2); 6; 6A; 7; 7A; 7B; 8; dan 9].
Lembaga ini dipilih secara langsung oleh rakyat dengan syarat dan tata
cara tertentu [pasal 6 dan 6A] dengan masa jabatan selama lima tahun dan
hanya dibatasi untuk dua periode jabatan [pasal 7]. Sebelum menjalankan
tugasnya lembaga ini dilantik oleh MPR [pasal 3 (2)] dengan bersumpah
di hadapan MPR atau DPR [pasal 9 (1)] atau pimpinan MPR dan pimpinan MA
jika parlemen tidak dapat bersidang [pasal 9 (2)].
Secara
sistematika lembaga kepresidenan diatur secara terkonsentrasi pada bab
III dari UUD 1945. Namun terdapat pengaturan lembaga kepresidenan di
bab-bab yang lain dari konstitusi. Menurut konstitusi:
Presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif) [pasal 4 (1) dan pasal 5 (2)];
Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden dalam menjalankan
kekuasaan pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif) [pasal 4 (2)];
Wakil Presiden menggantikan presiden jika presiden tidak dapat menjalankan apa yang menjadi kewajibannya [pasal 8 (1)];
Presiden mengusulkan dua calon wakil Presiden untuk dipilih MPR jika terjadi kekosongan jabatan [pasal 8 (2)];
Pelaksana tugas kepresidenan dan pemilihan serta pengangkatan presiden dan wakil Presiden yang baru oleh MPR [pasal 8 (3)];
Presiden dan/atau wakil Presiden dapat diberhentikan oleh MPR dalam
masa jabatannya dengan syarat-syarat pemberhentian tertentu [pasal 3
(4/3) dan pasal 7A] setelah melalui proses-proses tertentu [pasal 7B];
Presiden menetapkan peraturan pemerintah [pasal 5 (2)];
Presiden membentuk kabinet yang bertanggung jawab kepadanya [pasal 17
(1) dan (2)] dan harus tunduk pada UU dalam membentuk, mengubah, dan
membubarkan kementerian dalam kabinet [pasal 17 (4)];
Presiden membentuk dewan pertimbangan dengan UU [pasal 16].
Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas militer [pasal 10];
Presiden menyatakan keadaan bahaya [pasal 12];
Presiden menyatakan perang dan membuat perdamaian serta perjanjian
dengan negara lain dan atas persetujuan DPR [pasal 11 (1)];
Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat
tertentu harus dengan persetujuan DPR [pasal 11 (2)];
Presiden harus mendengar pertimbangan DPR saat mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 13 (2) dan (3)];
Presiden harus mendengar pertimbangan Mahkamah saat memberi grasi dan
rehabilitasi serta DPR saat memberi amnesti dan abolisi [pasal 14];
Presiden harus tunduk pada UU saat memberi gelar dan tanda kehormatan [pasal 15].
Presiden tidak dapat membekukan dan membubarkan parlemen [pasal 7C];
Presiden dapat mengajukan RUU kepada parlemen dan berwenang untuk ikut membahasnya [pasal 5 (1) dan pasal 20 (2)];
Presiden mengajukan RUU APBN kepada parlemen [pasal 23 (2) dan (3)];
Presiden harus mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dengan
parlemen [pasal 20 (4)] dan hanya dapat menunda pengesahan RUU yang
telah disetujui bersama dengan parlemen paling lama tiga puluh
hari[pasal 20 (5)];
Presiden berhak mengeluarkan peraturan darurat dalam keadaan mendesak [pasal 22 (1)].
Presiden menetapkan Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang diusulkan oleh
Komisi Yudisial dan telah disetujui DPR [pasal 24A (3)];
Presiden mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR [pasal 24B (3)];
Presiden menetapkan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi yang diusulkan oleh MA, DPR, dan Presiden [pasal 24C (3)];
Presiden meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang telah dipilih DPR [pasal 23F (1)].
Periode
transisi masih mewarnai masa republik VI ini, setidaknya antara tahun
2002 – 2004. Berbagai peraturan konstitusi semu, yang bernama Ketetapan
MPR, yang mengatur lembaga kepresidenan, secara bertahap dinyatakan
tidak berlaku oleh lembaga pembuatnya sendiri, yaitu MPR, sampai
terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Selain itu aturan peralihan
pasal I dan II juga berlaku selama masa transisi ini. Dalam masa
transisi ini pula dibuat peraturan UU yang mengatur pemilihan lembaga
kepresidenan secara langsung. Mulai tahun 2004, kekuasaan, susunan dan
kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga
kepresidenan diatur melalui UUD 1945, Undang-Undang, PP, maupun Perpres.
Namun, berbeda dengan lembaga negara lain yang diatur secara
terkonsentrasi dalam sebuah peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan
Perpres), peraturan mengenai lembaga kepresidenan tidak terdapat dalam
satu UU melainkan tersebar dalam berbagai UU, PP, maupun Perpres.
Sebagai catatan akhir, pada tahun 2004, pertama kalinya dalam sejarah,
diadakan pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung oleh rakyat.
Baharuddin Jusuf Habibie adalah tokoh presiden ketiga Republik
Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai pada 21 Mei 1998. Habibi
menggantikan presiden sebelumnya yang mengundurkan diri. Naiknya
presiden pertama dari luar Jawa ini menimbulkan sedikit kontroversi
setidaknya dalam masalah prosedur formal pengangkatan sebagai presiden.
Secara formal pengucapan sumpah kepresidenan dilakukan dihadapan
parlemen. Namun, karena gedung parlemen diduduki oleh pendukung people
power yang menyebabkan para legistalor tidak dapat bersidang, pengucapan
sumpah jabatan kepresidenan hanya dilakukan oleh Pak Habibi di depan
pimpinan MPR/DPR dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Beberapa
bulan setelahnya MPR menggelar Sidang Istimewa. Namun majelis itu tidak
memberikan suatu surat pengangkatan khusus sebagaimana pernah diberikan
kepada dua presiden sebelumnya Sukarno (1963) dan Suharto (1968, 1973,
1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998). Lembaga tertinggi negara tersebut
hanya mengakui melalui kedudukan Habibi di dalam Ketetapan MPR No.
X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
Bahkan ia tidak didampingi oleh wakil presiden.
Catatan
yang diraih oleh presiden kelahiran Provinsi Sulawesi Selatan adalah
penyelenggaraan pemilu 1999 yang menghasilkan parlemen baru. Namun
parlemen baru yang dipilih melalui pemilu tersebut menolak pertanggung
jawaban presiden setelah presiden diberi kesempatan untuk menggunakan
hak jawab kepada parlemen. Pada 19 Oktober 1999 Bacharuddin Yusuf
Habibie mengakhiri tugasnya yang sangat singkat dengan mendampingi
presiden terpilih mengucapkan sumpah kepresidenan dihadapan sidang umum
MPR 1999.
Abdurrahman Wahid
Abdurrahman
Wahid adalah Presiden ke-4 Indonesia. Masa jabatannya dimulai pada
tanggal 19 Oktober 1999. Gus Dur adalah presiden terakhir yang dipilih
oleh MPR. Ia diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR
Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Ia
mengalahkan rivalnya Megawati Soekarnoputri dalam sebuah pemilihan yang
dilakukan oleh MPR. Namun MPR memilih rivalnya dalam pemilihan tersebut,
Megawati, sebagai wakil presiden yang mendampinginya. Megawati diangkat
oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor
VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Karena satu dan lain hal mengenai keterbatasan seperti yang sudah
dimaklumi, Gus Dur menyerahkan pelaksanaan tugas teknis pemerintahan
sehari-hari pada wakil presiden. Penugasan ini ditetapkan dengan
Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden
kepada Wakil Presiden untuk Melaksanakan Tugas Teknis Pemerintahan
Sehari-hari Presiden Republik Indonesia. Pendulum kekuasaan yang beralih
dari eksekutif ke legislatif mengakibatkan lembaga kepresidenan
sepenuhnya tunduk pada parlemen. Hal ini dibuktikan sendiri olehnya. Dua
kali setelah menghadapi memorandum dari DPR, Gus Dur dihadapkan pada
suatu pemakzulan. Langkahnya yang mengeluarkan maklumat pembekuan DPR
dalam dekret tidak membuahkan hasil. MPR yang tengah menggelar Sidang
Istimewa langsung menolak dekret itu dengan Ketetapan MPR Nomor
I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli
2001. Maklumat tersebut juga mengantarkan lebih cepat pada pemakzulannya
oleh MPR pada saat itu juga. Abdurrahman Wahid menjadi presiden kedua
yang dimakzulkan oleh MPR di tengah masa jabatannya, berdasarkan
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden
Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid.
Megawati Soekarnoputri
Megawati
Soekarnoputri adalah Presiden ke-5 Indonesia. Jabatan pertamanya
dimulai 23 Juli 2001. Megawati menggantikan Gus Dur karena posisinya
sebagai wakil presiden. Ia adalah wakil presiden kedua yang menggantikan
presiden ketika berhenti dalam masa jabatannya. Megawati diangkat oleh
MPR sebagai presiden dengan Ketetapan R Nomor III/MPR/2001 tentang
Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri
Sebagai Presiden Republik Indonesia. Masa jabatannya kurang dari 5 tahun
sebab ia hanya mewarisi masa jabatan Gus Dur. Presiden perempuan
pertama Indonesia ini didampingi oleh Wakil Presiden Hamzah Haz yang
memenangkan pemilihan wakil presiden oleh MPR dari rivalnya Susilo
Bambang Yudhoyono. Hamzah oleh MPR diangkat sebagai wakil presiden
dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil
Presiden Republik Indonesia. Catatan dalam masa jabatannya adalah Pemilu
Legislatif pada April 2004 serta Pemilu Presiden pada Juli 2004. Pada
Pemilu Presiden 2004, Megawati harus mengakui keunggulan SBY setelah
melalui dua putaran pemilihan. Ia mengakhiri masa jabatan pertamanya
pada 20 Oktober 2004, sehari lebih lama dari sisa masa jabatan Gus Dur
yang dilimpahkan kepadanya.
Susilo Bambang Yudhoyono
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia 2004–2009 dan 2009–2014
Susilo
Bambang Yudhoyono adalah Presiden ke-6 Indonesia. Jabatan pertamanya
dimulai pada 20 Oktober 2004. Ia bersama pasangannya Muhammad Jusuf
Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang merupakan pemilihan presiden
secara langsung yang pertama kali. Setelah mengakhiri masa jabatannya
yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah jabatan presiden untuk
kedua kalinya di hadapan sidang MPR pada 20 Oktober 2009. Kali ini ia
didampingi oleh Boediono sebagai wakil presiden.
Pejabat sementara
Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara, Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, 1948–1949
Syafruddin
Prawiranegara adalah Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI). Ia ditunjuk dengan radiogram yang berisi mandat dari Presiden
Soekarno yang saat itu memegang kekuasaan pemerintahan negara pada 18
Desember 1948. Oleh sebab Bukittinggi yang menjadi tempat kedudukannya
juga diserang Belanda, radiogram itu tidak sampai pada waktunya. PDRI
tidak berkedudukan di satu tempat melainkan selalu berpindah. Bermula
dari perkebunan teh di Halaban, Sumatera Barat ia pergi ke Riau dan
kembali lagi ke Sumatera Barat. Pada bulan Mei 1949, ia membentuk
perwakilan PDRI di pulau Jawa. Ia berselisih paham dengan Soekarno
karena mengirim utusan kepada Belanda dalam Perjanjian Roem-Royen.
Setelah melalui berbagai proses berliku akhirnya Syafruddin bersedia
mengembalikan mandat yang telah diberikan presiden kepada Hatta.
Kedudukan Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sebagai kepala
negara dan/atau kepala pemerintahan ataupun setidaknya setingkat pejabat
presiden, baik secara de facto maupun de jure, masih diperdebatkan
apakah sah atau tidak.
Assaat
Assaat, Pemangku Jabatan Presiden Indonesia 1949–1950
Assaat
adalah Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia. Jabatannya dimulai
pada 27 Desember 1949 saat Soekarno secara resmi menyerahkan jabatan
Presiden RI kepadanya. Assaat sebelumnya adalah Ketua Badan Pekerja
KNIP, parlemen Indonesia kala itu. Ia menjabat sebagai pemangku jabatan
presiden karena UU No. 7 Tahun 1949 menentukan jika presiden dan wakil
presiden secara bersama-sama tidak dapat melakukan kewajibannya maka
Ketua DPR menjadi "Pemangku Jabatan Presiden". Jabatan tersebut
diembannya hingga 15 Agustus 1950 saat ia menyerahkan kekuasaan kepada
Soekarno sebagai Presiden RI (negara kesatuan) sesuai persetujuan RIS
dan RI pada 19 Mei 1950.
Sartono
Sartono pernah
menjabat sebagai Pejabat Presiden Indonesia. Belum banyak data yang
diketahui mengenai tokoh ini. Satu-satunya petunjuk yang ada ialah
Sartono menandatangani Lembaran Negara tahun 1958 nomor 2, 3, 4, 5, 6,
7, 9, 10, 11, 12, 13 ,14, 15, 16, 17, dan 18, tertanggal antara 13
Januari 1958 – 17 Februari 1958, yang salah satunya adalah UU No 8 tahun
1958 tentang penetapan UU Drt No 9 tahun 1954 tentang perubahan nama
Provinsi Sunda Kecil menjadi Provinsi Nusa Tenggara (LN 1954 No 66)
sebagai UU pada tanggal 17 Februari 1958. Untuk sementara perhitungan
tokoh ini diabaikan, dengan pengertian, setelah mendapat keterangan yang
jelas mengenai kedudukannya, tokoh ini akan dimasukkan.
Soeharto
Soeharto
juga pernah menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Jabatannya dimulai pada
22 Februari 1967 walau surat pengangkatannya baru dikeluarkan pada 12
Maret 1967. Ia menjadi pejabat presiden sebagai ketentuan dari Ketetapan
MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan
Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, setelah Soekarno dimakzulkan
dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan
Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Seharusnya Soeharto menjadi
pejabat presiden sampai dengan adanya presiden yang dipilih oleh MPR
baru dari hasil pemilihan umum. Namun pada 27 Maret 1968, karena keadaan
politik saat itu, ia mengakhiri tugasnya sebagai pejabat presiden
karena ditetapkan sebagai presiden (penuh) oleh MPRS kala itu.
Polemik periode dan pejabat
Referensi
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949
Undang-Undang Republik Indonesia Serikat Nomor 7 Tahun 1950 (UUD Sementara 1950)
Ketetapan-ketetapan MPRS dan MPR
UU 7/1949 [RI-Yogyakarta]
Lembaran Negara Tahun 1958
Ide Anak Agung Gde Agung (1985) Dari Negara Indonesia Timur ke Republik
Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Saafroedin Bahar et. al. (Ed). (1993) Risalah Sidang Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945 – 19 Agustus 1945.
Edisi II. Cetakan 4. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Saafroedin Bahar et. al. (Ed). (1995) Risalah Sidang Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945.
Edisi III. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Setneg (1997) 30 Tahun Indonesia Merdeka. Edisi 3. Jakarta: Setneg
Setneg (1997) 40 Tahun Indonesia Merdeka. Edisi 2. Jakarta: Setneg
Setneg (1997) 50 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Setneg
Toto Pribadi et. al. (2009) Sistem Politik Indonesia. Edisi 1. Cetakan 3. Jakarta: Universitas Terbuka
Daftar Presiden Filipina
Daftar Presiden Amerika Serikat
Office of the President of the Philippines
No comments:
Post a Comment