Monday, June 5, 2017

Jend Besar TNI Purn. H. M. Soeharto, Pejabat Presiden Indonesia 1967-1968 dan Presiden Indonesia 1968-1998



Jend Besar TNI Purn. H. M. Soeharto, Pejabat Presiden Indonesia 1967-1968 dan Presiden Indonesia 1968-1998
    Barang kali tidak salah jika penulis mengatakan, Gajah mati meninggalkan gadingnya manusia wafat meninggalkan kesan, sekalipun dari kesan tersebut disatu ditasnggapi positif dilain sisi mendapat penilaian negatif, dalam tulisan ini hanya memuat kesan positifnya saja. 
Masa Republik keempat adalah periode diberlakukannya kembali UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999. Dengan diberlakukannya kembali konstitusi ini maka semua kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan praktis sama dengan periode republik I. Untuk melihat secara detilnya dipersilakan melihat kembali masa republik I.

Soeharto

Soeharto juga pernah menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Jabatannya dimulai pada 22 Februari 1967 walau surat pengangkatannya baru dikeluarkan pada 12 Maret 1967. Ia menjadi pejabat presiden sebagai ketentuan dari Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, setelah Soekarno dimakzulkan dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Seharusnya Soeharto menjadi pejabat presiden sampai dengan adanya presiden yang dipilih oleh MPR baru dari hasil pemilihan umum. Namun pada 27 Maret 1968, karena keadaan politik saat itu, ia mengakhiri tugasnya sebagai pejabat presiden karena ditetapkan sebagai presiden (penuh) oleh MPRS kala itu.
Polemik periode dan pejabat
Ada beberapa hal yang menarik dari segi peraturan perundang-undangan dalam periode ini. Menurut dekret presiden yang memberlakukan kembali konstitusi dari republik I, bagian penjelasan konstitusi mendapat kekuatan hukum yang mengikat karena diterbitkan dalam lembaran negara. Dengan demikian lembaga kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi namun juga dalam penjelasan konstitusi. Dengan hadirnya lembaga MPR/MPRS dalam ketatanegaraan republik IV mengundang konsekuensi dengan lahirnya konstitusi semu yang disebut Ketetapan MPR/MPRS. Melalui produk hukum ini, secara umum lembaga kepresidenan juga diatur, antara lain melalui:

    Ketetapan MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi yang Diatur dalam UUD 1945.
    Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden.
    Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
    Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
    Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan.
    Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
    Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presidan dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Selain itu presiden sebagai mandataris MPR juga diberi kewenangan dan kekuasaan penuh untuk melakukan tindakan apapun guna menyelenggarakan pemerintahan, antara lain dengan:

    Ketetapan MPR No. X/MPR/1973 tentang Pelimpahan Tugas dan Kewenangan Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk Melaksanakan Tugas Pembangunan.
    Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1978 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Rangka Pengsuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional.
    Ketetapan MPR No. VII/MPR/1983 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Rangka Pensuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional.
    Ketetapan MPR No. VI/MPR/1988 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional.
    Ketetapan MPR No. V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.

Soeharto

Jend TNI Purn. Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden Indonesia 1983-1988

Jenderal TNI Suharto atau yang akrab disapa Pak Harto merupakan tokoh presiden kedua dari Republik Indonesia. Sebelum dinobatkan oleh MPRS menjadi Presiden kedua Soeharto juga pernah menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Jabatannya dimulai pada 22 Februari 1967 walau surat pengangkatannya baru dikeluarkan pada 12 Maret 1967. Ia menjadi pejabat presiden sebagai ketentuan dari Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, setelah Soekarno dimakzulkan dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Seharusnya Soeharto menjadi pejabat presiden sampai dengan adanya presiden yang dipilih oleh MPR baru dari hasil pemilihan umum. Namun pada 27 Maret 1968, karena keadaan politik saat itu, ia mengakhiri tugasnya sebagai pejabat presiden karena ditetapkan sebagai presiden (penuh) oleh MPRS kala itu. Jabatan pertamanya dimulai sejak 27 Maret 1968. Pak Harto diangkat oleh MPR Sementara dengan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia. Ia adalah presiden kedua yang ditetapkan oleh MPR Sementara. Dalam masa jabatannya yang pertama ini suami Ibu Tien tidak didampingi oleh wakil presiden sebagaimana diatur menurut UUD 1945. Sebagai mandataris MPR Sementara, secara teori, presiden adalah pelaksana kebijakan lembaga tertinggi negara tersebut. Pak Harto menjalankan kewajibannya sebagai presiden sampai ada presiden definitif yang diangkat oleh MPR hasil pemilu.

Pada tahun 1973 pertanggung jawaban Jenderal TNI Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1971 diterima. Kemudian presiden dari kalangan militer yang pertama ini diangkat oleh lembaga yang sama sebagai presiden dari calon tunggal pada 24 Maret 1973. Dalam masa jabatannya yang kedua Pak Harto didampingi oleh wakil presiden, ISKS Hamengku Buwono IX, Sultan sekaligus Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada masa-masa ini sampai sekitar 25 tahun mendatang kepemimpinan nasional berjalan dengan urutan yang mudah diikuti relatif tidak diwarnai kontroversi tentang tokoh maupun periodesasi jabatan.

Pada tahun 1978 pertanggung jawaban Suharto dihadapan MPR hasil pemilu 1977 diterima. Pada bulan yang sama purnawiran jenderal ini kembali diangkat oleh MPR dari calon tunggal. Dalam masa jabatan yang ketiga kalinya, Pak Harto didampingi oleh Adam Malik sebagai wakil presiden. Secara matematis, Suharto diangkat sehari lebih cepat dari jatah masa jabatannya. Selanjutnya pada 1983, lagi-lagi pertanggung jawaban Pak Harto diterima. Bahkan MPR hasil pemilu 1982 memberinya gelar Bapak Pembangunan. Pada 11 Maret 1983, sang purnawirawan kembali diangkat oleh MPR untuk menduduki kursi kepresidenannya yang keempat dari calon tunggal. Menurut hitung-hitungan angka ia diangkat tiga belas hari lebih cepat dari masa jabatannya yang seharusnya berakhir pada 23 Maret 1983. Untuk pertama kalinya Pak Harto didampingi oleh purnawirawan militer, Jend TNI (Purn). Umar Wirahadikusumah, sebagai wakil presiden.

Tahun 1988, kembali pertanggung jawaban jenderal kelahiran desa Kemusuk diterima. Setelah genap lima tahun menduduki kursi kepresidenan, Jend (Purn). Suharto kembali dilantik oleh MPR hasil pemilu 1987 pada 11 Maret 1988. Dalam masa jabatan kelimanya bapak pembangunan ini didampingi wakil presiden dari kalangan militer, Letjend TNI (Purn). Sudarmono SH. Tahun 1993, untuk ke sekian kalinya pertanggung jawaban sang presiden diterima. Pada 11 Maret 1993, setelah menggenapi masa jabatannya, Jenderal TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto diangkat untuk menduduki jabatan presiden keenam. Lagi-lagi MPR hasil pemilu 1992 mengangkatnya dari calon tunggal. Kini ia didampingi oleh mantan panglima militer, Jend TNI (Purn) Try Sutrisno, sebagai wakil presiden. Jend TNI Purn Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia 1993-1998.
Letjend TNI (Purn). Soedharmono, SH. Wakil Presiden Indonesia 1988-1993
Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Presiden Indonesia 1998 dan Presiden Indonesia 1998-1999

Dengan landasan hukum tersebut lembaga kepresidenan, terutama presiden, menjadi lembaga tertinggi bila dibandingkan dengan lembaga tinggi lainnya.

Ada beberapa hal unik dan menarik untuk dicermati pada periode ini. Hal-hal tersebut antara lain, pertama, setelah MPRS terbentuk lembaga ini tidak langsung bersidang untuk menetapkan tokoh yang memangku jabatan dalam lembaga kepresidenan yang baru. Kedua, pada tahun 1963 MPRS menetapkan ketetapan MPRS yang mengangkat presiden petahana sebagai presiden seumur hidup. Ketiga, munculnya jabatan “Pejabat Presiden” ketika Presiden dimakzulkan pada tahun 1967. Keempat, penetapan “Pejabat Presiden” menjadi Presiden pada tahun 1968. Kelima, pengisian lembaga kepresidenan sesuai dengan UUD 1945 baru dilakukan pada tahun 1973, tiga belas tahun setelah MPR (MPRS) terbentuk. Keenam, pengucapan sumpah pelantikan presiden oleh wakil presiden tidak dilakukan di depan MPR atau DPR melainkan hanya di depan pimpinan MPR/DPR dan Mahkamah Agung saat presiden mundur dari jabatannya pada tahun 1998. Sebenarnya masih banyak hal lain yang menarik namun mengingat keterbatasan tempat maka hanya enam hal di atas yang dikemukakan.

Gelombang people power yang dikenal dengan “gerakan reformasi 1998” yang muncul pada tahun 1998 akhirnya juga mengakibatkan sistem ketatanegaraan berubah secara cepat. Presiden tidak lagi memiliki kekuasaan penuh dengan dicabutnya Ketetapan MPR No. V/MPR/1998 dengan Ketetapan MPR No. XII/MPR/1998. Dan periode republik IV yang telah berusia empat puluh tahun ini pun berakhir sekitar satu setahun dari munculnya gelombang people power.


Maret 1998, di tengah badai politik dan ekonomi, pidato pertanggung jawaban Pak Harto diterima oleh MPR. Tidak satupun yang menyangka ini adalah terakhir kalinya ia menyampaikan laporan pertanggung jawaban. Kurang sehari dari masa jabatan yang seharusnya dijalani, pada tanggal 10 Maret 1998 Jenderal Besar TNI (Purnawirawan) Haji Muhammad Soeharto, diangkat dari calon tunggal untuk ketujuh kalinya oleh MPR hasil pemilu 1997. Untuk kedua kalinya ia didampingi oleh seorang sipil, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai wakil presiden. Berbagai tekanan harus dihadapi sang jenderal yang sudah berusia senja ini. Sebenarnya ia bisa menggunakan kekuasaan penuh untuk menyingkirkan semua pengganggunya, namun hal itu tidak ia lakukan. Pimpinan MPR/DPR pada waktu itu sempat meminta mundur sang presiden atau menggelar Sidang Istimewa MPR, sebuah sidang khusus yang dapat berujung pada pemakzulan seperti yang pernah terjadi pada diri Sukarno. Dan akhirnya pada 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya akibat gelombang people power “Gerakan Reformasi 1998”.
Baharuddin Jusuf Habibie

Periode 1999–2002
K. H. Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001

Masa republik kelima adalah periode transisi ketatanegaraan akibat proses perubahan konstitusi UUD 1945 secara fundamental. Secara tepatnya periode ini berlangsung antara 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002. Periode ini muncul sebagai akibat dari gelombang people power yang dikenal dengan reformasi 1998. Oleh karena perubahan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan dilakukan secara bertahap maka pembahasan periode ini dilakukan menurut tahapan perubahan konstitusi .

Pada tahun 1999 sebagai akibat perubahan I konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:

    Jabatan lembaga kepresidenan dibatasi hanya untuk dua kali masa jabatan [pasal 7];
    Presiden dan wakil presiden dapat bersumpah di depan pimpinan MPR dan Mahkamah Agung jika parlemen tidak dapat bersidang [pasal 9 (2)];
    Presiden tidak lagi memegang kekuasaan legislatif dengan membentuk UU, melainkan hanya berwenang mengajukan RUU kepada parlemen dan ikut membahasnya [pasal 5 (1) dan pasal 20 (1) – (3)];
    Presiden harus mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dengan parlemen [pasal 20 (4)];
    Presiden tidak dapat lagi memveto RUU dari parlemen, sebab klausul tersebut dihilangkan [pasal 21];
    Presiden harus mendengar pertimbangan DPR saat mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 13 (2) dan (3)];
    Presiden harus mendengar pertimbangan Mahkamah saat memberi grasi dan rehabilitasi serta DPR saat memberi amnesti dan abolisi [pasal 14];
    Presiden harus tunduk pada UU saat memberi gelar dan tanda kehormatan [pasal 15].

Pada tahun 2000 sebagai akibat perubahan II konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:

    Presiden hanya dapat menunda pengesahan RUU yang telah disetujui bersama dengan parlemen paling lama tiga puluh hari [pasal 20 (5)].

Pada tahun 2001 sebagai akibat perubahan III konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:

    Calon presiden dan calon wakil presiden harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk menjadi presiden dan wakil presiden [pasal 6];
    Presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih oleh MPR melainkan melalui pemilu dengan ketentuan yang lebih rinci [pasal 6A (1) – (3) dan (5)];
    Presiden dan wakil presiden terpilih dilantik oleh MPR [pasal 3 (3/2)];
    Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan oleh MPR dalam masa jabatannya dengan syarat-syarat pemberhentian tertentu [pasal 3 (4/3) dan pasal 7A] setelah melalui proses-proses tertentu [pasal 7B];
    Presiden tidak dapat membekukan dan membubarkan parlemen [pasal 7C];
    Presiden mengusulkan dua calon wakil presiden untuk dipilih MPR jika terjadi kekosongan jabatan [pasal 8 (2)];
    Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat tertentu harus dengan persetujuan parlemen [pasal 11 (2)];
    Presiden harus tunduk pada UU dalam membentuk, mengubah, dan membubarkan kementerian dalam kabinet [pasal 17 (4)];
    Presiden mengajukan RUU APBN kepada parlemen [pasal 23 (2) dan (3)];
    Presiden meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang telah dipilih DPR [pasal 23F (1)];
    Presiden menetapkan Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan telah disetujui DPR [pasal 24A (3)];
    Presiden mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR [pasal 24B (3)];
    Presiden menetapkan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi yang diusulkan oleh MA, DPR, dan Presiden [pasal 24C (3)].

Pada tahun 2002 sebagai akibat perubahan IV konstitusi maka terdapat perubahan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan yaitu:

    Proses pemilihan presiden dan wakil presiden dengan persyaratan tertentu [pasal 6A (4)];
    Pelaksana tugas kepresidenan dan pemilihan serta pengangkatan presiden dan wakil presiden yang baru oleh MPR [pasal 8 (3)];
    Presiden membentuk dewan pertimbangan dengan UU [pasal 16].

Beberapa hal yang menjadi catatan dalam periode republik V ini, antara lain, adalah, pertama, untuk pertama kalinya presiden dipilih oleh MPR dari calon yang berjumlah lebih dari satu orang. Kedua, presiden membekukan parlemen dan berakibat dimakzulkannya presiden. Ketiga, presiden wajib menyampaikan laporan tahunan penyelenggaraan pemerintahan kepada MPR.

Sebenarnya periode transisi ini tidak berakhir pada tahun 2002 melainkan pada tahun 2004. Namun karena acuannya adalah konstitusi maka periode ini dicukupkan pada tahun 2002. Periode transisi selanjutnya dibahas pada bagian republik VI.
Sejak 2002
Dr(HC), Hj. Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Indonesia 1999-2001 dan Presiden Indonesia 2001-2004

Masa republik keenam adalah periode diberlakukannya UUD 1945 setelah mengalami proses perubahan ketatanegaraan yang fundamental yang tetap dinamakan UUD 1945. Secara tepatnya periode ini dihitung mulai 10 Agustus 2002 sampai terjadinya perubahan yang fundamental terhadap konstitusi.

Dengan perubahan I-IV konstitusi selama masa republik V maka terjadi perubahan yang sangat fundamental dari segi ketatanegaraan. Dan dapat dikatakan lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, mendapatkan kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban yang baru menurut “konstitusi yang baru”.

Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan bersifat personal dan terdiri atas seorang presiden dan seorang wakil presiden [pasal 4 (2); 3 (2); 6; 6A; 7; 7A; 7B; 8; dan 9]. Lembaga ini dipilih secara langsung oleh rakyat dengan syarat dan tata cara tertentu [pasal 6 dan 6A] dengan masa jabatan selama lima tahun dan hanya dibatasi untuk dua periode jabatan [pasal 7]. Sebelum menjalankan tugasnya lembaga ini dilantik oleh MPR [pasal 3 (2)] dengan bersumpah di hadapan MPR atau DPR [pasal 9 (1)] atau pimpinan MPR dan pimpinan MA jika parlemen tidak dapat bersidang [pasal 9 (2)].

Secara sistematika lembaga kepresidenan diatur secara terkonsentrasi pada bab III dari UUD 1945. Namun terdapat pengaturan lembaga kepresidenan di bab-bab yang lain dari konstitusi. Menurut konstitusi:

    Presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif) [pasal 4 (1) dan pasal 5 (2)];
    Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif) [pasal 4 (2)];
    Wakil Presiden menggantikan presiden jika presiden tidak dapat menjalankan apa yang menjadi kewajibannya [pasal 8 (1)];
    Presiden mengusulkan dua calon wakil Presiden untuk dipilih MPR jika terjadi kekosongan jabatan [pasal 8 (2)];
    Pelaksana tugas kepresidenan dan pemilihan serta pengangkatan presiden dan wakil Presiden yang baru oleh MPR [pasal 8 (3)];
    Presiden dan/atau wakil Presiden dapat diberhentikan oleh MPR dalam masa jabatannya dengan syarat-syarat pemberhentian tertentu [pasal 3 (4/3) dan pasal 7A] setelah melalui proses-proses tertentu [pasal 7B];
    Presiden menetapkan peraturan pemerintah [pasal 5 (2)];
    Presiden membentuk kabinet yang bertanggung jawab kepadanya [pasal 17 (1) dan (2)] dan harus tunduk pada UU dalam membentuk, mengubah, dan membubarkan kementerian dalam kabinet [pasal 17 (4)];
    Presiden membentuk dewan pertimbangan dengan UU [pasal 16].
    Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas militer [pasal 10];
    Presiden menyatakan keadaan bahaya [pasal 12];
    Presiden menyatakan perang dan membuat perdamaian serta perjanjian dengan negara lain dan atas persetujuan DPR [pasal 11 (1)];
    Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat tertentu harus dengan persetujuan DPR [pasal 11 (2)];
    Presiden harus mendengar pertimbangan DPR saat mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 13 (2) dan (3)];
    Presiden harus mendengar pertimbangan Mahkamah saat memberi grasi dan rehabilitasi serta DPR saat memberi amnesti dan abolisi [pasal 14];
    Presiden harus tunduk pada UU saat memberi gelar dan tanda kehormatan [pasal 15].
    Presiden tidak dapat membekukan dan membubarkan parlemen [pasal 7C];
    Presiden dapat mengajukan RUU kepada parlemen dan berwenang untuk ikut membahasnya [pasal 5 (1) dan pasal 20 (2)];
    Presiden mengajukan RUU APBN kepada parlemen [pasal 23 (2) dan (3)];
    Presiden harus mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dengan parlemen [pasal 20 (4)] dan hanya dapat menunda pengesahan RUU yang telah disetujui bersama dengan parlemen paling lama tiga puluh hari[pasal 20 (5)];
    Presiden berhak mengeluarkan peraturan darurat dalam keadaan mendesak [pasal 22 (1)].
    Presiden menetapkan Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan telah disetujui DPR [pasal 24A (3)];
    Presiden mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR [pasal 24B (3)];
    Presiden menetapkan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi yang diusulkan oleh MA, DPR, dan Presiden [pasal 24C (3)];
    Presiden meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang telah dipilih DPR [pasal 23F (1)].

Periode transisi masih mewarnai masa republik VI ini, setidaknya antara tahun 2002 – 2004. Berbagai peraturan konstitusi semu, yang bernama Ketetapan MPR, yang mengatur lembaga kepresidenan, secara bertahap dinyatakan tidak berlaku oleh lembaga pembuatnya sendiri, yaitu MPR, sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu 2004. Selain itu aturan peralihan pasal I dan II juga berlaku selama masa transisi ini. Dalam masa transisi ini pula dibuat peraturan UU yang mengatur pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung. Mulai tahun 2004, kekuasaan, susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan diatur melalui UUD 1945, Undang-Undang, PP, maupun Perpres. Namun, berbeda dengan lembaga negara lain yang diatur secara terkonsentrasi dalam sebuah peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan Perpres), peraturan mengenai lembaga kepresidenan tidak terdapat dalam satu UU melainkan tersebar dalam berbagai UU, PP, maupun Perpres. Sebagai catatan akhir, pada tahun 2004, pertama kalinya dalam sejarah, diadakan pemilihan lembaga kepresidenan secara langsung oleh rakyat.


Baharuddin Jusuf Habibie adalah tokoh presiden ketiga Republik Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai pada 21 Mei 1998. Habibi menggantikan presiden sebelumnya yang mengundurkan diri. Naiknya presiden pertama dari luar Jawa ini menimbulkan sedikit kontroversi setidaknya dalam masalah prosedur formal pengangkatan sebagai presiden. Secara formal pengucapan sumpah kepresidenan dilakukan dihadapan parlemen. Namun, karena gedung parlemen diduduki oleh pendukung people power yang menyebabkan para legistalor tidak dapat bersidang, pengucapan sumpah jabatan kepresidenan hanya dilakukan oleh Pak Habibi di depan pimpinan MPR/DPR dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Beberapa bulan setelahnya MPR menggelar Sidang Istimewa. Namun majelis itu tidak memberikan suatu surat pengangkatan khusus sebagaimana pernah diberikan kepada dua presiden sebelumnya Sukarno (1963) dan Suharto (1968, 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998). Lembaga tertinggi negara tersebut hanya mengakui melalui kedudukan Habibi di dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Bahkan ia tidak didampingi oleh wakil presiden.

Catatan yang diraih oleh presiden kelahiran Provinsi Sulawesi Selatan adalah penyelenggaraan pemilu 1999 yang menghasilkan parlemen baru. Namun parlemen baru yang dipilih melalui pemilu tersebut menolak pertanggung jawaban presiden setelah presiden diberi kesempatan untuk menggunakan hak jawab kepada parlemen. Pada 19 Oktober 1999 Bacharuddin Yusuf Habibie mengakhiri tugasnya yang sangat singkat dengan mendampingi presiden terpilih mengucapkan sumpah kepresidenan dihadapan sidang umum MPR 1999.


Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid adalah Presiden ke-4 Indonesia. Masa jabatannya dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999. Gus Dur adalah presiden terakhir yang dipilih oleh MPR. Ia diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia. Ia mengalahkan rivalnya Megawati Soekarnoputri dalam sebuah pemilihan yang dilakukan oleh MPR. Namun MPR memilih rivalnya dalam pemilihan tersebut, Megawati, sebagai wakil presiden yang mendampinginya. Megawati diangkat oleh MPR sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena satu dan lain hal mengenai keterbatasan seperti yang sudah dimaklumi, Gus Dur menyerahkan pelaksanaan tugas teknis pemerintahan sehari-hari pada wakil presiden. Penugasan ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden kepada Wakil Presiden untuk Melaksanakan Tugas Teknis Pemerintahan Sehari-hari Presiden Republik Indonesia. Pendulum kekuasaan yang beralih dari eksekutif ke legislatif mengakibatkan lembaga kepresidenan sepenuhnya tunduk pada parlemen. Hal ini dibuktikan sendiri olehnya. Dua kali setelah menghadapi memorandum dari DPR, Gus Dur dihadapkan pada suatu pemakzulan. Langkahnya yang mengeluarkan maklumat pembekuan DPR dalam dekret tidak membuahkan hasil. MPR yang tengah menggelar Sidang Istimewa langsung menolak dekret itu dengan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. Maklumat tersebut juga mengantarkan lebih cepat pada pemakzulannya oleh MPR pada saat itu juga. Abdurrahman Wahid menjadi presiden kedua yang dimakzulkan oleh MPR di tengah masa jabatannya, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid.
Megawati Soekarnoputri

Megawati Soekarnoputri adalah Presiden ke-5 Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai 23 Juli 2001. Megawati menggantikan Gus Dur karena posisinya sebagai wakil presiden. Ia adalah wakil presiden kedua yang menggantikan presiden ketika berhenti dalam masa jabatannya. Megawati diangkat oleh MPR sebagai presiden dengan Ketetapan R Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden Republik Indonesia. Masa jabatannya kurang dari 5 tahun sebab ia hanya mewarisi masa jabatan Gus Dur. Presiden perempuan pertama Indonesia ini didampingi oleh Wakil Presiden Hamzah Haz yang memenangkan pemilihan wakil presiden oleh MPR dari rivalnya Susilo Bambang Yudhoyono. Hamzah oleh MPR diangkat sebagai wakil presiden dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 2001 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia. Catatan dalam masa jabatannya adalah Pemilu Legislatif pada April 2004 serta Pemilu Presiden pada Juli 2004. Pada Pemilu Presiden 2004, Megawati harus mengakui keunggulan SBY setelah melalui dua putaran pemilihan. Ia mengakhiri masa jabatan pertamanya pada 20 Oktober 2004, sehari lebih lama dari sisa masa jabatan Gus Dur yang dilimpahkan kepadanya.
Susilo Bambang Yudhoyono
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia 2004–2009 dan 2009–2014

Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden ke-6 Indonesia. Jabatan pertamanya dimulai pada 20 Oktober 2004. Ia bersama pasangannya Muhammad Jusuf Kalla memenangi Pemilu Presiden 2004 yang merupakan pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali. Setelah mengakhiri masa jabatannya yang pertama, SBY kembali mengucapkan sumpah jabatan presiden untuk kedua kalinya di hadapan sidang MPR pada 20 Oktober 2009. Kali ini ia didampingi oleh Boediono sebagai wakil presiden.
Pejabat sementara
Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara, Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, 1948–1949

Syafruddin Prawiranegara adalah Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Ia ditunjuk dengan radiogram yang berisi mandat dari Presiden Soekarno yang saat itu memegang kekuasaan pemerintahan negara pada 18 Desember 1948. Oleh sebab Bukittinggi yang menjadi tempat kedudukannya juga diserang Belanda, radiogram itu tidak sampai pada waktunya. PDRI tidak berkedudukan di satu tempat melainkan selalu berpindah. Bermula dari perkebunan teh di Halaban, Sumatera Barat ia pergi ke Riau dan kembali lagi ke Sumatera Barat. Pada bulan Mei 1949, ia membentuk perwakilan PDRI di pulau Jawa. Ia berselisih paham dengan Soekarno karena mengirim utusan kepada Belanda dalam Perjanjian Roem-Royen. Setelah melalui berbagai proses berliku akhirnya Syafruddin bersedia mengembalikan mandat yang telah diberikan presiden kepada Hatta. Kedudukan Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sebagai kepala negara dan/atau kepala pemerintahan ataupun setidaknya setingkat pejabat presiden, baik secara de facto maupun de jure, masih diperdebatkan apakah sah atau tidak.
Assaat
Assaat, Pemangku Jabatan Presiden Indonesia 1949–1950

Assaat adalah Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia. Jabatannya dimulai pada 27 Desember 1949 saat Soekarno secara resmi menyerahkan jabatan Presiden RI kepadanya. Assaat sebelumnya adalah Ketua Badan Pekerja KNIP, parlemen Indonesia kala itu. Ia menjabat sebagai pemangku jabatan presiden karena UU No. 7 Tahun 1949 menentukan jika presiden dan wakil presiden secara bersama-sama tidak dapat melakukan kewajibannya maka Ketua DPR menjadi "Pemangku Jabatan Presiden". Jabatan tersebut diembannya hingga 15 Agustus 1950 saat ia menyerahkan kekuasaan kepada Soekarno sebagai Presiden RI (negara kesatuan) sesuai persetujuan RIS dan RI pada 19 Mei 1950.
Sartono

Sartono pernah menjabat sebagai Pejabat Presiden Indonesia. Belum banyak data yang diketahui mengenai tokoh ini. Satu-satunya petunjuk yang ada ialah Sartono menandatangani Lembaran Negara tahun 1958 nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13 ,14, 15, 16, 17, dan 18, tertanggal antara 13 Januari 1958 – 17 Februari 1958, yang salah satunya adalah UU No 8 tahun 1958 tentang penetapan UU Drt No 9 tahun 1954 tentang perubahan nama Provinsi Sunda Kecil menjadi Provinsi Nusa Tenggara (LN 1954 No 66) sebagai UU pada tanggal 17 Februari 1958. Untuk sementara perhitungan tokoh ini diabaikan, dengan pengertian, setelah mendapat keterangan yang jelas mengenai kedudukannya, tokoh ini akan dimasukkan.

Soeharto

Soeharto juga pernah menjadi Pejabat Presiden Indonesia. Jabatannya dimulai pada 22 Februari 1967 walau surat pengangkatannya baru dikeluarkan pada 12 Maret 1967. Ia menjadi pejabat presiden sebagai ketentuan dari Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden, setelah Soekarno dimakzulkan dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Seharusnya Soeharto menjadi pejabat presiden sampai dengan adanya presiden yang dipilih oleh MPR baru dari hasil pemilihan umum. Namun pada 27 Maret 1968, karena keadaan politik saat itu, ia mengakhiri tugasnya sebagai pejabat presiden karena ditetapkan sebagai presiden (penuh) oleh MPRS kala itu.
Polemik periode dan pejabat

Periodisasi jabatan lembaga kepresidenan sering menimbulkan polemik. Namun, sebelum masuk terlalu dalam, perlu diperhatikan beberapa hal yang boleh jadi bersifat mendasar.

    Siapakah yang menduduki jabatan lembaga kepresidenan. Apakah cukup presiden dan wakil presiden saja. Ataukah presiden dan wakil presiden serta pejabat presiden (atau sebutan lainnya).
    Apakah dapat diakui suatu pemerintahan ganda, dalam artian pada saat yang sama terdapat dua lembaga kepresidenan.
    Apakah penentuan naik dan turunnya seorang tokoh dalam lembaga kepresidenan hanya berdasarkan aturan dalam konstitusi. Atau berdasar konstitusi dan surat pengangkatan/pelantikan (atau sebutan lain). Ataukah lagi hanya berdasarkan pada ketokohan semata, dalam artian satu tokoh dihitung satu masa jabatan tanpa memedulikan berapa kali ia menjabat.
    Perlukah suatu daftar resmi dari negara untuk tokoh yang menduduki lembaga kepresidenan beserta periodisasinya agar dapat diketahui secara pasti.

Sebagai ilustrasi, dapat dilihat pada kasus Presiden Filipina. Ilustrasi ini juga didasarkan pada sisi historis, sebab Supomo waktu menjelaskan UUD 1945 ia membandingkan UUD Indonesia dengan Konstitusi Filipina. Diosdado Pangan Macapagal adalah Presiden Filipina urutan kesembilan sekaligus presiden kelima dari republik ketiga negara Filipina. Satu yang dapat dilihat disini bahwa ia menduduki dua buah daftar dengan nomor urut yang berbeda. Presiden Macapagal pada 1962 mengubah perayaan resmi hari kemerdekaan dari 4 Juli (hari ketika Amerika Serikat memberikan kemerdekaan Filipina pada 1946, hari yang juga menjadi peringatan kemerdekaan AS) menjadi 12 Juni (hari ketika Emilio Aguinaldo mengumumkan kemerdekaan dari Spanyol pada 1898). Keputusan ini sebagai keputusan hukum tentang waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Ia juga mengakui Jose P. Laurel yang dijadikan Presiden Filipina oleh tentara pendudukan Jepang, sebagai presiden resmi negara itu. Sebelumnya Laurel tidak diakui oleh pemerintahan-pemerintahan Filipina setelah Perang Dunia II, karena dianggap tidak mempunyai status hukum apapun namun mengakui dua presiden yang berada dalam pengasingan di Amerika. Di sini dapat dilihat bahwa pemerintahan pengasingan diakui dan pemerintahan ganda juga diakui. Lebih dari itu Macapagal menetapkan suatu keputusan resmi mengenai pengakuan tokoh yang menjabat dalam lembaga kepresidenan Filipina, Ng Pangulo Ng Pilipinas.

Periodisasi masa jabatan maupun urutan tokoh yang duduk dalam lembaga kepresidenan sering menimbulkan ketidaksepakatan. Berikut akan diusahakan untuk memilah periodisasi dan urutan tokoh yang menjabat lembaga kepresidenan (presiden dan wakil presiden) sesuai kronologi tokoh saat memangku jabatan untuk yang pertama kalinya.

Soekarno memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan presiden, antara lain:

    Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan titik akhir keluarnya Supersemar, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 11 Maret 1966
    Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan titik akhir pemakzulan resmi dari MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 22 Februari 1967
    Jika RIS dihitung terpisah dengan titik akhir pemakzulan resmi dari MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949, 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950, dan 15 Agustus 1950 hingga 22 Februari 1967
    Jika RIS dihitung terpisah dan masa PDRI dihitung terpisah dengan titik akhir pemakzulan resmi dari MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 18 Desember 1948, 13 Juli 1949 hingga 27 Desember 1949, 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950, dan 15 Agustus 1950 hingga 22 Februari 1967
    Jika RIS dihitung terpisah, masa PDRI dihitung ganda, dan naik turun jabatan berdasarkan pada konstitusi dan ketetapan MPRS dengan titik akhir pemakzulan resmi dari MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949, 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950, 15 Agustus 1950 hingga 18 Mei 1963, dan 18 Mei 1963 hingga 22 Februari 1967

Mohammad Hatta memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan wakil presiden, yaitu:

    Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan mengabaikan jeda RIS maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 1 Desember 1956
    Jika jeda RIS dihitung dan naik-turun jabatan berdasarkan pada konstitusi maka masa jabatannya adalah sejak 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949 dan xx/xx/1950 hingga 1 Desember 1956.[33].

Syafruddin Prawiranegara memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan, yaitu:

    Jika jabatan “Ketua Pemerintahan Darurat” diakui berkedudukan setara dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan dengan titik awal telegram yang dikirim lembaga kepresidenan dari Yogyakarta, maka masa jabatannya adalah sejak 18 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949
    Jika jabatan "Ketua Pemerintahan Darurat" diakui berkedudukan setara dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan dengan titik awal pembentukan PDRI di Sumatera Barat, maka masa jabatannya adalah sejak 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949
    Jika jabatan “Ketua Pemerintahan Darurat” tidak diakui berkedudukan setara dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” tidak diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan maka masa jabatannya: tidak diakui/tidak pernah ada.

Assaat memiliki 2 kemungkinan periodisasi jabatan, yaitu:

    Jika jabatan “Pemangku Jabatan Presiden diakui” diakui berkedudukan setara dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan serta kedudukan RI yang beribukota di Yogyakarta diakui berdiri sendiri (walau hanya negara bagian) selama periode RIS (memiliki ketatanegaraan yang berbeda dengan RIS), maka masa jabatannya adalah sejak 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950
    Jika jabatan “Pemangku Jabatan Presiden” tidak diakui berkedudukan setara dengan jabatan “Pejabat Presiden” dan kedudukan “Pejabat Presiden” tidak diakui sebagai jabatan dalam lembaga kepresidenan serta kedudukan negara bagian RI yang beribukota di Yogyakarta tidak diakui berdiri sendiri selama periode RIS (telah lebur menjadi RI), maka masa jabatannya tidak diakui.

Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia 2004-2009

Soeharto memiliki beberapa kemungkinan periodisasi jabatan, antara lain:

    Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan titik awal keluarnya supersemar, maka masa jabatannya adalah sejak 11 Maret 1966 hingga 21 Mei 1998
    Jika seluruh masa jabatan dihitung sebagai satu kesatuan dengan titik awal pengangkatan resmi sebagai pejabat presiden oleh MPRS, maka masa jabatannya adalah sejak 22 Februari 1967 hingga 21 Mei 1998
    Jika naik turun jabatan berdasarkan UUD 1945 dan ketetapan MPR(S) serta masa Pejabat Presiden dihitung, maka masa jabatannya adalah sejak 22 Februari 1967 hingga 27 Maret 1968, 27 Maret 1968 hingga 24 Maret 1973, 24 Maret 1973 hingga 23 Maret 1978, 23 Maret 1978 hingga 11 Maret 1983, 11 Maret 1983 hingga 1988, 11 Maret 1988 hingga 1993, 11 Maret 1993 hingga 10 Maret 1998, dan 10 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998
    Jika naik turun jabatan berdasarkan UUD 1945 dan ketetapan MPR(S) serta masa Pejabat Presiden tidak dihitung, maka masa jabatannya adalah sejak 27 Maret 1968 hingga 24 Maret 1973, 24 Maret 1973 hingga 23 Maret 1978, 23 Maret 1978 hingga 11 Maret 1983, 11 Maret 1983 hingga 1988, 11 Maret 1988 hingga 1993, 11 Maret 1993 hingga 10 Maret 1998, dan 10 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998

Hamengkubuwana IX memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 24 Maret 1973 hingga 23 Maret 1978.

Adam Malik memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 23 Maret 1978 hingga 11 Maret 1983.

Umar Wirahadikusumah memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1983 hingga 1988.

Sudharmono memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1988 hingga 1993.

Try Sutrisno memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 11 Maret 1993 hingga 1998.

Baharuddin Jusuf Habibie memiliki periode jabatan:

    Sebagai wakil presiden sejak 11 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998.
    Sebagai presiden sejak 21 Mei 1998 hingga 19 Oktober 1999.

Abdurrahman Wahid memiliki 1 periode jabatan presiden yaitu sejak 19 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.

Megawati Soekarnoputri memiliki periode jabatan:

    Sebagai wakil presiden sejak 19 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.
    Sebagai presiden sejak 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004.

Hamzah Haz memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 26 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004.

Susilo Bambang Yudhoyono memiliki 2 periode jabatan presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 hingga 2009 dan sejak 20 Oktober 2009 hingga 2014.

Muhammad Jusuf Kalla memiliki 2 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2004 hingga 2009 dan sejak 20 Oktober 2014 hingga sekarang.

Boediono memiliki 1 periode jabatan wakil presiden yaitu sejak 20 Oktober 2009 hingga 2014.

Joko Widodo memiliki 1 periode jabatan presiden yaitu sejak 20 Oktober 2014 hingga sekarang.

Untuk mengetahui urutan tokoh atau urutan masa jabatan lembaga kepresidenan yang ke berapakah sekarang yang menjabat maka tinggal merangkai masing-masing masa jabatan tokoh. Perlu hati-hati dalam merangkai beberapa tokoh karena akan ada over lapping masa tugas dan tidak mungkin over lapping masa tugas. Di sini akan diberi dua contoh berbeda.

Contoh Pertama: Sukarno menurut versi (2), Suharto versi (2), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.


Pejabat ke     Nama pejabat     Masa jabatan     Jabatan ke     Periode ke
1     Soekarno     18/08/1945-22/02/1967   
2     Soeharto     22/02/1967-21/05/1998   
3     Habibie     21/05/1998-19/10/1999   
4     Abdurrahman Wahid     19/10/1999-23/07/2001   
5     Megawati Soekarnoputri     23/07/2001-20/10/2004    
6     SBY     20/10/2004-20/10/2014   
7     Joko Widodo     Sejak 20/10/2014   


Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden Indonesia 2009-2014

Contoh Kedua: Soekarno menurut versi (5), Syafruddin (1), Assaat (1), Suharto versi (3), Habibie (2), Gus Dur, Mega (2), SBY.
Pejabat ke     Nama pejabat     Masa jabatan     Jabatan ke     Periode ke
1     Soekarno     18/08/1945-27/12/1949     1     1
2     Syafruddin Prawiranegara (PDRI)     22/12/1948-13/07/1949     1     2
1     Soekarno (RIS)     27/12/1949-15/08/1950     2     3
3     Assaat (RI)     27/12/1949-15/08/1950     1     4
1     Soekarno     15/08/1950-18/05/1963     3     5
1     Soekarno     18/05/1963-22/02/1967     4     6
4     Soeharto     22/02/1967-27/03/1968     1     7
4     Soeharto     27/03/1968-24/03/1973     2     8
4     Soeharto     24/03/1973-23/03/1978     3     9
4     Soeharto     23/03/1978-11/03/1983     4     10
4     Soeharto     11/03/1983-11/03/1988     5     11
4     Soeharto     11/03/1988-11/03/1993     6     12
4     Soeharto     11/03/1993-10/03/1998     7     13
4     Soeharto     10/03/1998-21/05/1998     8     14
5     Habibie     21/05/1998-19/10/1999     1     15
6     Abdurrahman Wahid     19/10/1999-23/07/2001     1     16
7     Megawati Soekarnoputri     23/07/2001-20/10/2004     1     17
8     SBY     20/10/2004-20/10/2009     1     18
8     SBY     20/10/2009-20/10/2014     2     19
9     Joko Widodo     Sejak 20/10/2014     1     20

Kedua contoh di atas memperlihatkan sebuah perbedaan yang amat mencolok. Dan itu pun baru contoh dari dua versi.

Referensi

    Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
    Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
    Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
    Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
    Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
    Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949
    Undang-Undang Republik Indonesia Serikat Nomor 7 Tahun 1950 (UUD Sementara 1950)
    Ketetapan-ketetapan MPRS dan MPR
    UU 7/1949 [RI-Yogyakarta]
    Lembaran Negara Tahun 1958
    Ide Anak Agung Gde Agung (1985) Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
    Saafroedin Bahar et. al. (Ed). (1993) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945 – 19 Agustus 1945. Edisi II. Cetakan 4. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
    Saafroedin Bahar et. al. (Ed). (1995) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Edisi III. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
    Setneg (1997) 30 Tahun Indonesia Merdeka. Edisi 3. Jakarta: Setneg
    Setneg (1997) 40 Tahun Indonesia Merdeka. Edisi 2. Jakarta: Setneg
    Setneg (1997) 50 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Setneg
    Toto Pribadi et. al. (2009) Sistem Politik Indonesia. Edisi 1. Cetakan 3. Jakarta: Universitas Terbuka
    Daftar Presiden Filipina
    Daftar Presiden Amerika Serikat
    Office of the President of the Philippines
 cover_soekarno

1     Soekarno     18/08/1945-22/02/1967








Berkas:SusiloBambangYudhoyono.jpg
   Presiden Indonesia
  
    Daftar Wakil Presiden Indonesia
   

Berkas:Jusuf Kalla.jpg
   
2     Soeharto     22/02/1967-21/05/1998 

Berkas:Hamengku Buwono IX (1973).jpgBerkas:Sjafrudin prawiranegara.jpg
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/d/d7/Try_Sutrisno.jpg

 

Berkas:Bacharuddin Jusuf Habibie official portrait.jpg
  
  

 

No comments:

Post a Comment