Arung Palakka, Cucu Sultan Adam Petta Matinroe ri Bantaeng
Arung Palakka, Cucu Sultan Adam Petta Matinroe ri Bantaeng
Lukisan Arung Palakka
BugisPos – Arung Palakka, adalah Raja Bone yang sangat popular namanya sampai sekarang. Setiap nama Bone disebut dimana-mana, maka yang akan muncul adalah pencitraan sosok Arung Palakka. Sosok raja yang satu ini, kesohorannya ditandai atas keberaniannya melawan kerajaan Gowa dalam upaya membebaskan rakyat Bone dari penjajahan kerajaan Gowa.
Dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Bone dari penjajahan kerajaan Gowa, Arung Palakka mendapat bantuan pihak kolonial Belanda. Karena itulah, pahlawan tanah Bone ini pun dianggap sebagai penghianat bangsa oleh lawan-lawan seterunya. Padahal sesungguhnya, dia adalah seorang pejuang – pejuang bagi bangsanya di kerajaan Bone yang sedang tertindas oleh penjajahan bangsa Gowa. Dan ketika itu, sesungguhnya belum dikenal adanya perjuangan untuk bangsa Indonesia. Yang terjadi ialah, perjuangan di masing-masing kerajaan untuk mempartahankan posisi wilayahnya, sedang Belanda, sangat pandai mencari kesempatan membantu pihak yang lemah, dengan konsep adu-dombanya yang sangat licik.
Seperti ditulis oleh Drs.A.Sultan Kasim dalam bukunya berjudul “Arung Palakka Dalam Perjuangan Kemerdekaan Kerajaan Bone’, sebagaimana dikutip Wanua Ugi ; Arung Palakka lahir pada tahun 1635 di desa Lamatta (Mario Riwawo, Soppeng). Ayahnya bernama La Pottobune, Arung Tanah Tengnga dan Datu Lompulle. Ibunya bernama We Tenrisui, Datu Mario Riwawo.
We Tenrisui adalah puteri Raja Bone XI, La Tenrirua Sultan Adam Matinroe ri Bantaeng. Dengan demikian, Arung Palakka adalah seorang pangeran Bone menurut garis ibu, sehingga dia juga berhak mewarisi tahta Kerajaan Bone.
Nama Arung Palakka cukup banyak, sehingga bila dirangkaikan dalam satuan baris, menjadi panjang. Setiap kata nama Arung Palakka, mengandung makna yang berkaitan dengan peran perjuangan sehingga perlu dijelaskan. Nama kecilnya La Tenritata Towappatunru, artinya tak dapat dibatasi kemauannya dan orang yang menundukkan. Gelarnya sebagai Raja Palili di Soppeng “Datu Mario Riwawo”, diberikan oleh ibunya semasa tinggal di lingkungan kerajaan Gowa, an nama panggilannya adalah Daeng Serang.
Arung Palakka artinya raja di Palakka. Dia dinobatkan oleh Hadat Tujuh Bone menjadi raja di Palakka pada tahun 1660, seusai berkonsultasi dengan Jennang Tobala untuk melakukan perlawanan terhadap Gowa. Nama julukannya yang terkenal di kalangan masyarakat Bone ialah “ Malampee Gemme’na Petta Torisompae”, artinya yang panjang rambutnya dan raja yang disembah. Nama julukannya tersebut mencerminkan keberadaan rambut Arung Palakka yang sangat panjang, karena selama dalam perjuangan melawan Gowa (1660-1667), dia tidak pernah memotong rambutnya, sehingga sangat panjang. Rambutnya selama itu baru dipotong setelah perjuangannya behasil memerdekakan Bone. Rambutnya yang dianggap bertuah itu masih disimpan di dalam bak kaca sampai sekarang bersama-sama dengan benda-benda “arajang” Kerajaan Bone. Nama Islamnya Sultan Saaduddin. Nama anumertanya ialah Matinroe ri Bontoala. Jadi nama lengkapnya iaah ; “La Tenritata Towappatunru Daeng Serang Datu Mario Riwawo Arung Palakka Malampee Gemme’na Petta Torisompae Matinroe ri Bontoala”. Bahkan masih beberapa lagi nama gelarannya sebagai raja dari suatu kerajaan Palili, misalnya : Datu Pattiro, Raja Bantaeng, Datu Lamuru, dan lain-lain.
Namun namanya yang popular dalam sejarah ialah Arung Palakka, yang artinya Raja di Palakka. Palakka adalah kerajaan Palili (kerajaan otonomi) dalam wilayah kerajaan Bone.
Menurut tradisi Kerajaan Bone, bahwa yang berhak menjadi raja di Palakka, berhak pula menjadi raja di Bone, namun tidak semua Raja Bone pernah menjadi raja di Palakka. Berdasarkan garis keturunan tersebut, Arung Palakka adalah seorang pangerang Bone dan Soppeng, sehingga dia dipandang sebagai seorang tokoh sentral dan representative, yang mimiliki legitimasi untuk memimpin perjuangan merebut kemerdekaan Bone dan Soppeng dari kekuasaan kerajaan Gowa (una)
One Response to Arung Palakka, Cucu Sultan Adam Petta Matinroe ri Bantaeng
Kabupaten Bantaeng. Dengan dasar ini maka barangkali agak terlalu jauh bedanya kalau dikatakan bahwa Karaeng Tuma*jombea adalah Latenri ruwa. Karena namanya imassakirang dg Mamangung (Karaeng Tuma*jombea) dengan sultan Adam ( Latenri ruwa)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kabupaten Bantaeng Lambang Daerah Kabupaten Bantaeng.jpg
Lambang Kabupaten Bantaeng
Peta lokasi Kabupaten Bantaeng
Koordinat: 20 21' 18' Lintang Utara dan 134' 8' Bujur Timur
Provinsi Sulawesi Selatan
Dasar hukum Ketetapan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor: Des 52/2/18-104, Tanggal 4 September 1963
Pemerintahan
- Bupati Nurdin Abdullah
- DAU Rp. 379.463.356.000.-(2013)[1]
Luas 395,83 km2
Populasi
- Total 176.699 jiwa (2010)
- Kepadatan 446,4 jiwa/km2
Demografi
- Kode area telepon 0413
Pembagian administratif
- Kecamatan 8
- Kelurahan 46 / 21
Simbol khas daerah
- Situs web http://www.bantaengkab.go.id/
Pemandangan jalan di Bantaeng
Pemandangan jalan di Bantaeng di sekitar tahun 1900
Kabupaten Bantaeng adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Terletak dibagian selatan provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 395,83 km² atau 39.583 Ha yang dirinci berdasarkan Lahan Sawah mencapai 7.253 Ha (18,32%) dan Lahan Kering mencapai 32.330 Ha. Secara administrasi Kabupaten Bantaeng terdiri atas 8 kecamatan yang terbagi atas 21 kelurahan dan 46 desa. Jumlah penduduk mencapai 170.057 jiwa.[2] Kabupaten Bantaeng terletak di daerah pantai yang memanjang pada bagian barat dan timur sepanjang 21,5 kilometer yang cukup potensial untuk perkembangan perikanan dan rumput laut.
Daftar isi
1 Kondisi geografis dan kependudukan
2 Industri dan pariwisata
3 Sejarah yang terlupakan
4 Daftar nama-nama raja yang pernah memerintah
5 Daftar Kepala Pemerintahan
6 Referensi
7 Tempat Wisata
7.1 Eremerasa (Ermes)
7.2 Air Terjun Bissappu
7.3 Agrowisata Loka
7.4 Pantai Seruni
7.5 Pantai Marina
8 Pranala luar
Kondisi geografis dan kependudukan
Secara geografis Kabupaten Bantaeng terletak pada titik 5o21'23"-5o35'26" lintang selatan dan 119o51'42"-120o5'26" bujur timur. Berjarak 125 Km kearah selatan dari Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayahnya mencapai 395,83 Km2 dengan jumlah penduduk 170.057 jiwa (2006) dengan rincian Laki-laki sebanyak 82.605 jiwa dan perempuan 87.452 jiwa. Terbagi atas 8 kecamatan serta 46 desa dan 21 kelurahan. Pada bagian utara daerah ini terdapat dataran tinggi yang meliputi pegunungan Lompobattang. Sedangkan di bagian selatan membujur dari barat ke timur terdapat dataran rendah yang meliputi pesisir pantai dan persawahan.
Kabupaten Bantaeng yang luasnya mencapai 0,63% dari luas Sulawesi Selatan, masih memiliki potensi alam untuk dikembangkan lebih lanjut. Lahan yang dimilikinya ± 39.583 Ha. Di Kabupaten Bantaeng mempunyai hutan produksi terbatas 1.262 Ha dan hutan lindung 2.773 Ha. Secara keseluruhan luas kawasan hutan menurut fungsinya di kabupaten Bantaeng sebesar 6.222 Ha (2006).
Karena sebagian besar penduduknya petani, maka wajar bila Bantaeng sangat mengandalkan sektor pertanian. Masuk dalam pengembangan Karaeng Lompo, sebab memang jenis tanaman sayur-sayurannya sudah berkembang pesat selama ini. Kentang adalah salah satu tanaman holtikultura yang paling menonjol. Data terakhir menunjukkan bahwa produksi kentang mencapai 4.847 ton (2006). Selain kentang, holtikultura lainnya adalah kool 1.642 ton, wortel 325 ton dan buah-buahan seperti pisang dan mangga. Perkembangan produksi perkebunan, khususnya komoditi utama mengalami peningkatan yang cukup berarti.
Industri dan pariwisata
Sektor industri menjadi pilihan kedua untuk dikembangkan di Kabupaten Bantaeng yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pengembangan sektor industri sangat berpeluang dimasa mendatang, namun membutuhkan investor yang sangat kuat. Dengan perkembangan sektor industri, dampaknya sangat positif, sebab disamping meningkatkan pendapatan masyarakat juga menyerap banyak tenaga kerja. Industri-industri yang berkembang antara lain adalah industri pembersih biji kemiri, pembuatan gula merah, pertenunan godongan, pembuatan perabot rumah tangga dari kayu, anyaman bambu atau daun lontar dan lain-lain.
Sektor lain yang perlu diperhitungkan adalah sektor pariwisata. Kabupaten Bantaeng memiliki peninggalan sejarah yang tercatat dalam buku-buku sejarah. Peninggalan-peninggalan sejarah tersebut sangat menarik untuk dikunjungi. Tak heran memang jika pemerintah kabupaten setempat sangat menaruh perhatian terhadap pariwisata. Terbukti direnovasinya berbagai objek wisata alam menjadi tempat menarik, sepeti permandian alam Bissappu. Juga dipeliharanya peningalan-peninggalan sejarah seperti Balla Tujua yang merupakan kebanggaan masyarakat setempat.
Kabupaten Bantaeng terus berpacu dengan daerah lainnya dengan mengembangkan penataan kota melaui pembuatan taman, drainase, lampu jalan dan lain-lain.
Sejarah yang terlupakan
Komunitas Onto memiliki sejarah tersendiri yang menjadi cikal bakal Bantaeng. Menurut Karaeng Imran Masualle salah satu generasi penerus dari kerajaan Bantaeng, dulunya daerah Bantaeng ini masih berupa lautan. Hanya beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan yaitu daerah Onto dan beberapa daerah di sekitarnya yaitu Sinoa, Bisampole, Gantarang keke, Mamapang, Katapang dan Lawi-Lawi. Masing-masing daerah ini memiliki pemimpin sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare’. Suatu ketika para Kare yang semuanya ada tujuh orang tersebut, bermufakat untuk mengangkat satu orang yang akan memimpin mereka semua.
Sebelum itu mereka sepakat untuk melakukan pertapaan lebih dulu, untuk meminta petunjuk kepada Dewata (Yang Maha Kuasa) siapa kira-kira yang tepat menjadi pemimpin mereka. Lokasi pertapaan yang dipilih adalah daerah Onto. Ketujuh Kare itu kemudian bersamadi di tempat itu. Tempat-tempat samadi itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh rumah kecil yang beratap, berdidinding dan bertiang bambu). Pada saat mereka bersemadi, turunlah cahaya ke Kare Bisampole (Pimpinan daerah Bisampole) dan terdengar suara :”Apangaseng antu Nuboya Nakadinging-dinginganna” (Apa yang engkau cari dalam cuaca dingin seperti ini). Lalu Kare Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak lagi terpisah-pisah seperti sekarang ini. Lalu kembali terdengar suara: “Ammuko mangemako rimamampang ribuangayya Risalu Cinranayya (Besok datanglah kesatu tempat permandian yang terbuat dari bamboo).
Keesokan harinya mereka mencari tempat yang dimaksud di daerah Onto. Di tempat itu mereka menemukan seorang laki-laki sedang mandi. “Inilah kemudian yang disebut dengan To Manurunga ri Onto,” jelas Karaeng Burhanuddin salah seorang dari generasi kerajaan Bantaeng. Lalu ketujuh Kare menyampaikan tujuannya untuk mencari pemimpin, sekaligus meminta Tomanurung untuk memimpin mereka. Tomanurung menyatakan kesediaannya, tapi dengan syarat. “Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu” (saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tapi saya ibarat angin dan kalian adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut),” kata Tomanurung.
Ketujuh Kare yang diwakili oleh Kare Bisampole pun menyahut; “Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung.” (Saya terima permintaanmu tapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya racun). Maka jadilah Tomanurung ri Onto ini sebagai raja bagi mereka semua. Pada saat ia memandang ke segala penjuru maka daerah yang tadinya laut berubah menjadi daratan. Tomanurung ini sendiri lalu mengawini gadis Onto yang dijuluki Dampang Onto (Gadis jelitanya Onto)
Setelah itu mereka pun berangkat ke arah yang sekarang disebut gamacayya. Di satu tempat mereka bernaung di bawah pohon lalu bertanyalah Tomanurung pohon apa ini, dijawab oleh Kare Bisampole: Pohon Taeng sambil memandang kearah enam kare yang lain. Serentak kenam kare yang lain menyatakan Ba’ (tanda membenarkan dalam bahasa setempat). Dari sinilah kemudian muncul kata Bantaeng dari dua kata tadi yaitu Ba’ dan Taeng jelas Karaeng Imran Masualle.
Konon karena daerah Onto ini menjadi daerah sakral dan perlindungan bagi keturunan raja Bnataeng bila mendapat masaalah yang besar, maka bagi anak keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki daerah ini, kecuali diserang musuh atau dipakaikan dulu tanduk dari emas. Namun kini hal itu hanya cerita. Karena menurut Karaeng Burhanuddin semua itu telah berubah akibat kebijakan Pemda yang telah melakukan tata ruang terhadap daerah ini. Kini Kesakralan daerah itu hanya tinggal kenangan.
Tanggal 7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di Onto dan Tau Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu: Kare Onto, Bissampole, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Mamampang, Katapang dan Lawi-Lawi.
Selain itu, sejarah menunjukkan, bahwa pada tanggal 7 Juli 1667 terjadi perang Makassar, di mana tentara Belanda mendarat lebih dahulu di Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena letaknya yang strategis sebagai bandar pelabuhan dan lumbung pasngan Kerajaan Gowa. Serangan Belanda tersebut gagal, karena ternyata dengan semangat patriotiseme rakyat Bantaeng sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan perlawanan besar-besaran.
Bulan 12 (dua belas), menunjukkan sistem Hadat 12 atau semacam DPRD sekarang yang terdiri dari perwakilan rakyat melalui Unsur Jannang (Kepala Kampung) sebagai anggotanya yang secara demokratis mennetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.
Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Penentuan autentik Peta Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu.
Bahkan menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun 500 masehi, sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tuo (Tanah bersejarah).
Selanjutnya laporan peneliti Amerika Serikat Wayne A. Bougas menyatakan Bantayan adalah Kerajaan Makassar awal tahun 1200-1600, dibuktikan dengan ditemukannya penelitian arkeolog dan para penggali keramik pada bagian penting wilayah Bantaeng yakni berasal dari dinasti Sung (960-1279) dan dari dinasti Yuan (1279-1368).
Dengan demikian, maka sesuai kesepakatan yang telah dicapai oleh para pakar sejarah, sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng pada tanggal 2-4 Juli 1999. berdasarkan Keputusan Mubes KKB nomor 12/Mubes KKB/VII/1999 tanggal 4 Juli 1999 tentang penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun kesepatan anggota DPRD Tingkat II Bantaeng, telah memutuskan bahwa sangat tepat Hari Jadi Bantaeng ditetapkan pada tanggal 7 bulan 12 tahun 1254, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor: 28 tahun 1999.
Daftar nama-nama raja yang pernah memerintah
Berikut ini adalah daftar nama-nama raja yang pernah memerintah di wilayah Kabupaten Bantaeng, yaitu:
1. Bantayan pada awalnya sebagai Kerajaan yakni tahun 1254 - 1293 yang mana diperintah oleh Mula Tau yang bergelar To Toa
yang memimpin Kerajaan Bantaeng yang terdiri dari 7 Kawasan yang masing diantaranya dipimpin oleh Karaeng,
yaitu Kare Onto, Kare Bissampole, Kare Sinoa, Kare Gantarang Keke, Kare Mamampang, Kare Katampang dan Kare Lawi-Lawi,
yang semua Kare tersebut dikenal dengan nama “Tau Tujua”
2. Sesudah Mula Tau, maka Raja kedua yang memerintah yaitu Raja Massaniaga pada tahun 1293.
3. Pada tahun 1293 - 1332 dipimpin oleh To Manurung atau yang bergelar Karaeng Loeya.
4. Tahun 1332 - 1362 dipimpin oleh Massaniaga Maratung.
5. Tahun 1368 - 1397 dipimpin oleh Maradiya.
6. Tahun 1397 - 1425 dipimpin oleh Massanigaya.
7. Tahun 1425 - 1453 dipimpin oleh I Janggong yang bergelar Karaeng Loeya.
8. Tahun 1453 - 1482 dipimpin oleh Massaniga Karaeng Bangsa Niaga.
9. Tahun 1482 - 1509 dipimpin oleh Daengta Karaeng Putu Dala atau disebut Punta Dolangang.
10. Tahun 1509 - 1532 dipimpin oleh Daengta Karaeng Pueya.
11. Tahun 1532 - 1560 dipimpin oleh Daengta Karaeng Dewata.
12. Tahun 1560 - 1576 dipimpin oleh I Buce Karaeng Bondeng Tuni Tambanga.
13. Tahun 1576 - 1590 dipimpin oleh I Marawang Karaeng Barrang Tumaparisika Bokona.
14. Tahun 1590 - 1620 dipimpin oleh Massakirang Daeng Mamangung Karaeng Majjombea Matinroa ri Jalanjang Latenri Rua.
15. Tahun 1620 - 1652 dipimpin oleh Daengta Karaeng Bonang yang bergelar Karaeng Loeya.
16. Tahun 1652 - 1670 dipimpin oleh Daengta Karaeng Baso To Ilanga ri Tamallangnge.
17. Tahun 1670 - 1672 dipimpin oleh Mangkawani Daeng Talele.
18. Tahun 1672 - 1687 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Baso (kedua kalinya).
19. Tahun 1687 - 1724 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Ngalle.
20. Tahun 1724 - 1756 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Manangkasi.
21. Tahun 1756 - 1787 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Loka.
22. Tahun 1787 - 1825 dipimpin oleh Ibagala Daeng Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang.
23. Tahun 1825 - 1826 dipimpin oleh La Tjalleng To Mangnguliling Karaeng Tallu Dongkonga ri Bantaeng
yang bergelar Karaeng Loeya ri Lembang.
24. Tahun 1826 - 1830 dipimpin oleh Daeng To Nace (Janda Permaisuri, Kr. Bagala Dg. Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang).
25. Tahun 1830 - 1850 dipimpin oleh Mappaumba Daeng To Magassing.
26. Tahun 1850 - 1860 dipimpin oleh Daeng To Pasaurang.
27. Tahun 1860 - 1866 dipimpin oleh Karaeng Basunu.
28. Tahun 1866 - 1877 dipimpin oleh Karaeng Butung.
29. Tahun 1877 - 1913 dipimpin oleh Karaeng Panawang.
30. Tahun 1913 - 1933 dipimpin oleh Karaeng Pawiloi.
31. Tahun 1933 - 1939 dipimpin oleh Karaeng Mangkala
32. Tahun 1939 - 1945 dipimpin oleh Karaeng Andi Mannapiang
33. Tahun 1945 - 1950 dipimpin oleh Karaeng Pawiloi (kedua kalinya).
34. Tahun 1950 - 1952 dipimpin oleh Karaeng Andi Mannapiang (kedua kalinya).
35. Tahun 1952 - Karaeng Massoelle (sebagai pelaksana tugas).
Daftar Kepala Pemerintahan
Sejak terbentuknya Kabupaten daerah Tingkat II Bantaeng berdasarkasn UU Nomor 29 Tahun 1959, Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang pertama dilantik pada tanggal 1 Februari 1960. Adapun pejabat pemerintahan sejak terbentuknya Kabupaten Bantaeng hingga saat ini adalah sebagai berikut:
A. Rifai Bulu (1960-1965)
Aru Saleh (1965-1966)
Solthan (1966-1971)
H. Solthan (1971-1978)
Drs. H. Darwis Wahab (1978-1988)
Drs. H. Malingkai Maknun (1988-1993)
Drs. H. Said Saggaf (1993-1998)
Drs. H. Azikin Solthan, M.Si (1998-2008)
Prof. DR. Ir. H. M. Nurdin Abdullah, M.Agr (2008-2013)
Prof. DR. Ir. H. M. Nurdin Abdullah, M.Agr (2013-2018)
Referensi
^ "Perpres No. 10 Tahun 2013". 2013-02-04. Diakses tanggal 2013-02-15.
^ Sumber: Data BPS Kabupaten Bantaeng tahun 2008
Daftar Nama-Nama Raja Bantaeng
Bantayan pada awalnya sebagai Kerajaan yakni tahun 1254 - 1293 yang mana diperintah oleh Mula Tau yang bergelar To Toa yang memimpin Kerajaan Bantaeng yang terdiri dari 7 Kawasan yang masing diantaranya dipimpin oleh Karaeng, yaitu Kare Onto, Kare Bissampole, Kare Sinoa, Kare Gantarang Keke, Kare Mamampang, Kare Katampang dan Kare Lawi-Lawi, yang semua Kare tersebut dikenal dengan nama “Tau Tujua”
Sesudah Mula Tau, maka Raja kedua yang memerintah yaitu Raja Massaniaga pada tahun 1293.
Tahun 1293 - 1332 dipimpin oleh To Manurung atau yang bergelar Karaeng Loeya.
Tahun 1332 - 1362 dipimpin oleh Massaniaga Maratung.
Tahun 1368 - 1397 dipimpin oleh Maradiya.
Tahun 1397 - 1425 dipimpin oleh Massanigaya.
Tahun 1425 - 1453 dipimpin oleh I Janggong yang bergelar Karaeng Loeya.
Tahun 1453 - 1482 dipimpin oleh Massaniga Karaeng Bangsa Niaga.
Tahun 1482- 1509 dipimpin oleh Daengta Karaeng Putu Dala atau disebut Punta Dolangang.
Tahun 1509 - 1532 dipimpin oleh Daengta Karaeng Pueya.
Tahun 1532 - 1560 dipimpin oleh Daengta Karaeng Dewata.Tahun 1560 - 1576 dipimpin oleh I Buce Karaeng Bondeng Tuni Tambanga.
Tahun 1576 - 1590 dipimpin oleh I Marawang Karaeng Barrang Tumaparisika Bokona.
Tahun 1590 - 1620 dipimpin oleh Massakirang Daeng Mamangung Karaeng Majjombea Matinroa ri Jalanjang Latenri Rua.
Tahun 1620 - 1652 dipimpin oleh Daengta Karaeng Bonang yang bergelar Karaeng Loeya.
Tahun 1652 - 1670 dipimpin oleh Daengta Karaeng Baso To Ilanga ri Tamallangnge.
Tahun 1670 - 1672 dipimpin oleh Mangkawani Daeng Talele.
Tahun 1672 - 1687 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Baso ( kedua kalinya ).
Tahun 1687 - 1724 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Ngalle.
Tahun 1724 - 1756 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Manangkasi.
Tahun 1756 - 1787 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Loka.
Tahun 1787 - 1825 dipimpin oleh Ibagala Daeng Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang.
Tahun 1825-1826 dipimpin oleh La Tjalleng To Mangnguliling Karaeng Tallu Dongkonga ri Bantaeng yang bergelar Karaeng Loeya ri Lembang.
Tahun 1826 -1830 dipimpin oleh Daeng To Nace ( Janda Permaisuri, Kr. Bagala Dg. Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang ).
Tahun 1830 - 1850 dipimpin oleh Mappaumba Daeng To Magassing.
Tahun 1850 - 1860 dipimpin oleh Daeng To Pasaurang.
Tahun 1860 - 1866 dipimpin oleh Karaeng Basunu.
Tahun 1866 - 1877 dipimpin oleh Karaeng Butung.
Tahun 1877 - 1913 dipimpin oleh Karaeng Panawang.
Tahun 1913 - 1933 dipimpin oleh Karaeng Pawiloi.
Sejarah Awal Terbentuknya Bantaeng.
Komunitas Onto memiliki sejarah tersendiri yang menjadi cikal bakal Bantaeng. Menurut Karaeng Imran Masualle salah satu generasi penerus dari kerajaan Bantaeng, dulunya daerah Bantaeng ini masih berupa lautan. Hanya beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan yaitu daerah Onto dan beberapa daerah di sekitarnya yaitu Sinoa, Bisampole, Gantarang keke, Mamapang, Katapang dan Lawi-Lawi.
Masing-masing daerah ini memiliki pemimpin sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare’. Suatu ketika para Kare yang semuanya ada tujuh orang tersebut, bermufakat untuk mengangkat satu orang yang akan memimpin mereka semua.
Sebelum itu mereka sepakat untuk melakukan pertapaan lebih dulu, untuk meminta petunjuk kepada Dewata (Yang Maha Kuasa) siapa kira-kira yang tepat menjadi pemimpin mereka. Lokasi pertapaan yang dipilih adalah daerah Onto. Ketujuh Kare itu kemudian bersamadi di tempat itu.
Tempat-tempat samadi itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh rumah kecil yang beratap, berdidinding dan bertiang bambu). Pada saat mereka bersemadi, turunlah cahaya ke Kare Bisampole (Pimpinan daerah Bisampole) dan terdengar suara :”Apangaseng antu Nuboya Nakadinging-dinginganna” (Apa yang engkau cari dalam cuaca dingin seperti ini).
Lalu Kare Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak lagi terpisah-pisah seperti sekarang ini. Lalu kembali terdengar suara: “Ammuko mangemako rimamampang ribuangayya Risalu Cinranayya (Besok datanglah kesatu tempat permandian yang terbuat dari bamboo).
Keesokan harinya mereka mencari tempat yang dimaksud di daerah Onto. Di tempat itu mereka menemukan seorang laki-laki sedang mandi. “Inilah kemudian yang disebut dengan To Manurunga ri Onto,” jelas Karaeng Burhanuddin salah seorang dari generasi kerajaan Bantaeng.
Lalu ketujuh Kare menyampaikan tujuannya untuk mencari pemimpin, sekaligus meminta Tomanurung untuk memimpin mereka.
Tomanurung menyatakan kesediaannya, tapi dengan syarat. “Eroja nuangka anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu” (saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tapi saya ibarat angin dan kalian adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut),” kata Tomanurung.
Ketujuh Kare yang diwakili oleh Kare Bisampole pun menyahut; “Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, Kualleko tambara tangkualleko racung.” (Saya terima permintaanmu tapi kau hanya kuangkat jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya racun).
Maka jadilah Tomanurung ri Onto ini sebagai raja bagi mereka semua. Pada saat ia memandang ke segala penjuru maka daerah yang tadinya laut berubah menjadi daratan. Tomanurung ini sendiri lalu mengawini gadis Onto yang dijuluki Dampang Onto (Gadis jelitanya Onto).
Setelah itu mereka pun berangkat ke arah yang sekarang disebut gamacayya. Di satu tempat mereka bernaung di bawah pohon lalu bertanyalah Tomanurung pohon apa ini, dijawab oleh Kare Bisampole: Pohon Taeng sambil memandang kearah enam kare yang lain.
Serentak kenam kare yang lain menyatakan Ba’ (tanda membenarkan dalam bahasa setempat). Dari sinilah kemudian muncul kata Bantaeng dari dua kata tadi yaitu Ba’ dan Taeng jelas Karaeng Imran Masualle.
Konon karena daerah Onto ini menjadi daerah sakral dan perlindungan bagi keturunan raja Bantaeng bila mendapat masaalah yang besar, maka bagi anak keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki daerah ini, kecuali diserang musuh atau dipakaikan dulu tanduk dari emas. Namun kini hal itu hanya cerita.
Karena menurut Karaeng Burhanuddin semua itu telah berubah akibat kebijakan Pemda yang telah melakukan tata ruang terhadap daerah ini. Kini Kesakralan daerah itu hanya tinggal kenangan.
Tanggal 7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di Onto dan Tau Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu: Kare Onto, Bissampole, Sinowa, Gantarangkeke, Mamampang, Katapang dan Lawi-Lawi.
Perlawanan Rakyat Bantaeng Terhadap Penjajah Belanda
Selain itu, sejarah menunjukkan, bahwa pada tanggal 7 Juli 1667 terjadi perang Makassar, dimana tentara Belanda mendarat lebih dahulu di Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena letaknya yang strategis sebagai bandar pelabuhan dan lumbung pasangan Kerajaan Gowa.
Serangan Belanda tersebut gagal, karena ternyata dengan semangat patriotiseme rakyat Bantaeng sebagai bagian Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan perlawanan besar-besaran.
Bulan 12 (dua belas), menunjukkan sistem Hadat 12 atau semacam DPRD sekarang yang terdiri dari perwakilan rakyat melalui Unsur Jannang (Kepala Kampung) sebagai anggotanya yang secara demokratis menetapkan kebijaksanaan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.
Hasil Penelitian Menyatakan Bantaeng Sudah Ada Sejak Tahun 500 Masehi.
Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Raja Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292.
Penentuan autentik Peta Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu.
Bahkan menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun 500 masehi, sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tuo (Tanah bersejarah).
Selanjutnya laporan peneliti Amerika Serikat Wayne A. Bougas menyatakan Bantayan adalah Kerajaan Makassar awal tahun 1200-1600, dibuktikan dengan ditemukannya penelitian arkeolog dan para penggali keramik pada bagian penting wilayah Bantaeng yakni berasal dari dinasti Sung (960-1279) dan dari dinasti Yuan (1279-1368).
Penetapan Hari Jadi Bantaeng
Sesuai kesepakatan yang telah dicapai oleh para pakar sejarah, sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng pada tanggal 2-4 Juli 1999.
berdasarkan Keputusan Mubes KKB nomor 12/Mubes KKB/VII/1999 tanggal 4 Juli 1999 tentang penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun kesepatan anggota DPRD Tingkat II Bantaeng, telah memutuskan bahwa sangat tepat Hari Jadi Bantaeng ditetapkan pada tanggal 7 bulan 12 tahun 1254, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor: 28 tahun 1999.
Raja-Raja yang pernah memerintah
Berikut ini adalah daftar nama-nama raja yang pernah memerintah di wilayah Kabupaten Bantaeng, yaitu:
Bantayan pada awalnya sebagai Kerajaan yakni tahun 1254 - 1293 yang mana diperintah oleh Mula Tau yang bergelar To Toa. yang memimpin Kerajaan Bantaeng yang terdiri dari 7 Kawasan yang masing-masing diantaranya; dipimpin oleh beberapa Karaeng, yaitu Kare Onto, Kare Bissampole, Kare Sinoa, Kare Gantarang Keke, Kare Mamampang, Kare Katampang dan Kare Lawi-Lawi,yang semua Kare tersebut dikenal dengan nama “Tau Tujua”
Sesudah Mula Tau, maka Raja kedua yang memerintah yaitu Raja Massaniaga pada tahun 1293.
Pada tahun 1293 - 1332 dipimpin oleh To Manurung atau yang bergelar Karaeng Loeya.
Tahun 1332 - 1362 dipimpin oleh Massaniaga Maratung.
Tahun 1368 - 1397 dipimpin oleh Maradiya.
Tahun 1397 - 1425 dipimpin oleh Massanigaya.
Tahun 1425 - 1453 dipimpin oleh I Janggong yang bergelar Karaeng Loeya.
Tahun 1453 - 1482 dipimpin oleh Massaniga Karaeng Bangsa Niaga.
Tahun 1482 - 1509 dipimpin oleh Daengta Karaeng Putu Dala atau disebut Punta Dolangang.
Tahun 1509 - 1532 dipimpin oleh Daengta Karaeng Pueya.
Tahun 1532 - 1560 dipimpin oleh Daengta Karaeng Dewata.
Tahun 1560 - 1576 dipimpin oleh I Buce Karaeng Bondeng Tuni Tambanga.
Tahun 1576 - 1590 dipimpin oleh I Marawang Karaeng Barrang Tumaparisika Bokona.
Tahun 1590 - 1620 dipimpin oleh Massakirang Daeng Mamangung Karaeng Majjombea Matinroa ri Jalanjang Latenri Rua.
Tahun 1620 - 1652 dipimpin oleh Daengta Karaeng Bonang yang bergelar Karaeng Loeya.
Tahun 1652 - 1670 dipimpin oleh Daengta Karaeng Baso To Ilanga ri Tamallangnge.
Tahun 1670 - 1672 dipimpin oleh Mangkawani Daeng Talele.
Tahun 1672 - 1687 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Baso (kedua kalinya).
Tahun 1687 - 1724 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Ngalle.
Tahun 1724 - 1756 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Manangkasi.
Tahun 1756 - 1787 dipimpin oleh Daeng Ta Karaeng Loka.
Tahun 1787 - 1825 dipimpin oleh Ibagala Daeng Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang.
Tahun 1825 - 1826 dipimpin oleh La Tjalleng To Mangnguliling Karaeng Tallu Dongkokanna ri Bantaeng yang bergelar Karaeng Loeya ri Lembang.
Tahun 1826 - 1830 dipimpin oleh Daeng To Nace (Janda Permaisuri, Kr. Bagala Dg. Mangnguluang Tunijalloka ri Kajang).
Tahun 1830 - 1850 dipimpin oleh Mappaumba Daeng To Magassing.
Tahun 1850 - 1860 dipimpin oleh Daeng To Pasaurang.
Tahun 1860 - 1866 dipimpin oleh Karaeng Basunu.
Tahun 1866 - 1877 dipimpin oleh Karaeng Butung.
Tahun 1877 - 1913 dipimpin oleh Karaeng Panawang.
Tahun 1913 - 1933 dipimpin oleh Karaeng Pawiloi.
Tahun 1933 - 1939 dipimpin oleh Karaeng Mangkala
Tahun 1939 - 1945 dipimpin oleh Karaeng Andi Mannapiang
Tahun 1945 - 1950 dipimpin oleh Karaeng Pawiloi (kedua kalinya).
Tahun 1950 - 1952 dipimpin oleh Karaeng Andi Mannapiang (kedua kalinya).
Tahun 1952 - Karaeng Massoelle (sebagai pelaksana tugas).
Pemerintah Masa Kerajaan ini berlangsung sejak abad XII dan berakhir pada masa sesudah kemerdekaan, dan dalam penyelenggaraan pemerintahan Kerajaan itu berlangsung pula birokrasi pemerintahan Hindia Belanda secara bersama-sama.
No comments:
Post a Comment