HMI DAN TNI DULU KINI SERTA KEDEPAN | ilmusaudarana
Oleh : Rudy Gani, Ketua Umum Badko HMI 2010 – 2012
“Membayangkan Indonesia tanpa HMI sama dengan membayangkan Indonesia
tanpa TNI”. Sebab, kedua institusi yang menjadi penopang dari rumah
bernama Indonesia ini merupakan dua unsur yang berperan penting dalam
sejarah Indonesia, khususnya, peran HMI di masa PKI membayangi
perjalanan bangsa ini dan ketika Orde Baru masih merangkak. Sejarah
adalah catatan. Maka dengan catatan itulah kita membaca HMI
pasca pernyataan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang yang heboh itu terkait
HMI sebagai “ladang penjahat” bernama koruptor.
HMI melalui PB (Pengurus Besar) HMI secara resmi telah mengadukan
Saut ke Bareskrim Mabes Polri. Tidak hanya Pengurus Besar (tingkat
pusat), pengurus Cabang HMI dan Alumni di seluruh Daerah juga melakukan
hal yang sama mempolisikan Saut. Itu artinya proses hukum Saut
secara prosedural sudah berjalan dan diproses pihak kepolisiaan. Meski
kemarin (9/5) Saut telah menyatakan permintaan maafnya kepada Keluarga
besar HMI, namun permintaan maaf itu tidak menggugurkan proses hukum
yang dilakukan oleh HMI. Hanya saja, mengutip pernyataan Ketua Umum PB
HMI, Mulyadi P Tamsir, sebagai umat Islam, secara pribadi HMI telah
memaafkan Saut atas pernyataanya. Namun, karena ini negara hukum,
biarlah proses hukum berjalan dan memutuskan nasib Saut nantinya.
Diganggu dan marah HMI marah itu wajar. Sebab, siapapun di Republik
ini tidak bisa menafikan peranan HMI dalam sejarah panjang NKRI.
Apalagi sampai memfitnah dengan omongan yang tidak memiliki referensi
apapun dalam sejarah. HMI lahir tahun 1947. Jauh sebelum Saut lahir ke
Indonesia (saut lahir tahun 1959). Di masa itu HMI memiliki peran
mempertahankan Republik Indonesia dari Agresi Belanda kedua. Selain
mengenyam status Mahasiswa, anggota HMI tergabung dalam tentara pelajar.
Di masa itu, anggota HMI membawa buku dan bambu (senjata). Sebuah
bentuk dari Dwifungsi mahasiswa yang kemudian “menginspirasi” TNI untuk
melakukan hal yang sama di tahun-tahun selanjutnya.
Tahun 1965, tragedi berdarah PKI terjadi. HMI yang dimasa itu menjadi
satu-satunya representasi mahasiswa Islam (kelompok Intelektual)
Indonesia mendapat tantangan sengit dari kelompok Komunis. Beberapa
tahun sebelum Kudeta terjadi, PKI melalui CGMI (Corps Gerakan
Mahasiswa Indonesia) sebagai underbow PKI di kalangan mahasiswa
melakukan serangan kepada HMI. Bahkan, mereka melobby Presiden
Soekarno saat itu untuk membubarkan HMI. Persaingan sengit CGMI dan HMI
di kampus pun terjadi. CGMI merasa bahwa HMI menjadi bagian yang
menghalangi tegaknya cita-cita terbentuknya negara Komunis di Indonesia
selain dari beberapa organisasi Islam lainnya. Karena itu, CGMI
mati-matian “membunuh” HMI di kampus-kampus. Sayangnya nasib berkata
lain. HMI yang kata Jenderal Soedirman, “Harapan Masyarakat Indonesia”,
terbukti bertahan dan keluar sebagai pemenang. PKI tumbang yang kemudian
ikut menyeret CGMI ke liang lahat untuk selama-lamanya. PKI mati. CGMI
pun turut mati.
Sejarah lalu membuktikan hingga tahun 1967, di mana Orde Baru mulai
menancapkan taring kekuasaanya, kiprah HMI bertumbuh subur dan ikut
menghantarkan kesusksesan Orde Baru di masa-masa itu. Dari beberapa
nama-nama besar tokoh HMI di republik ini, Islam mendapatkan porsi yang
besar dalam perjalanan Orde Baru. Tahun 1970-an, kiprah Nurcholish
Madjid atau akrab disapa Cak Nur, mendominasi ruang intelektual Islam
dalam kajian Islam dan Indonesia. Tidak sedikit sumbangan Cak Nur
bagi pengetahuan Islam yang modern dan mencerahkan. Islam menjadi
primadona di kampus-kampus, di masjid serta Mall (lih. Buku
karangan Nurcholish Madjid).
Timbulnya antusiasme masyarakat akan Islam “modern” yang mendapatkan
ruang besar di masyarakat mesti diakui sebagai salah satu sumbangsih
pikiran alumni HMI. Hingga puncaknya, Cak Nur bersama dengan murid dan
teman-temannya mendirikan Paramadina yang saat itu menjadi
wadah pengkajian Islam modern yang dikampanyekan Cak Nur dari
“rangsangan” pikiran Caknur itulah kemudian menginspirasi ribuan
aktivis Islam untuk memodernkan Islam di Indonesia dengan bertumbuh
suburnya kelompok kajian Islam dan Keindonesiaan di era 80-an.
Karena besarnya pengaruh HMI dalam kajian Islam dan Keindonesiaan,
maka HMI saat itu menjadi organisasi Mahasiswa Islam yang sangat
“seksi”, baik di mata mahasiswa itu sendiri dan Pemerintah. Hal itu
terbukti dengan bertebarannya alumni HMI di berbagai bidang
pekerjaan, mulai dari lembaga pendidikan di tingkat SD hingga kampus.
Mulai dari PNS berpangkat rendah hingga menteri. Dari ustadz kampung
hingga Ustadz kota. Dari wartawan biasa hingga penulis terkemuka. Dari
pengusaha klontong, hingga pengusaha kaya raya. Dari pegawai biasa
hingga professional berkelas dunia. Semua ada dan lahir dari HMI.
Karena, boleh diakui atau tidak, dari dulu hingga sekarang HMI merupakan
organisasi perkaderan bagi pemimpin bangsa Indonesia dalam segala
bidang (tidak hanya politik!). Melalui rahim HMI, tercetaklah
kader-kader bangsa yang di dalam dirinya bersemayam Roh Islam dan
Keindonesiaan.
Maka, ketika Saut menuding HMI sebagai pencetak pejabat koruptor,
Saut telah melakukan fitnah kepada lembaga ini. Sebab, Saut hanya
mengukur HMI dari satu dua orang yang terlibat kasus korupsi di KPK,
tetapi tidak melihat ratusan bahkan jutaan kader HMI yang membangun
bangsa “dalam sunyi” tanpa tergila-gila pada publikasi dan jabatan
struktural di seluruh penjuru negeri ini. Disitulah bentuk perlawanan
serta amarah kader dan alumni HMI menemukan titik temunya.
HMI dari Masa ke masa difitnah seperti apapun sejarah sudah
membuktikan bahwa HMI akan tetap ada di Republik ini. Hanya saja, memang
secara internal HMI perlu melakukan otokritik di tengah usia HMI yang
tidak lagi muda. Sebagai saksi sejarah dan pemilik saham di Republik
ini, kiprah HMI perlu dipertajam dengan makin “kerasnya” HMI terhadap
rezim penguasa yang sewenang-wenang terhadap rakyat dan umat Islam.
Sebagai contoh beberapa kasus kekinian yang perlu mendapat perhatian
HMI seperti kasus penggusuran warga Luar Batang, penyerobotan tanah oleh
perusahaan, RUU yang menyampingkan kepentingan nasional, keberadaan
warga asing tanpa izin dan lain sebagainya. Singkatnya, momentum Saut
harus dilihat dari kacamata positif. Bahwa hari ini HMI kompak dan solid
menanggapi kasus “alam bawah sadar” ala Saut.
Nah, apakah kekompakan dan solidaritas itu bertahan sepanjang waktu
terutama dalam mencermati perjalanan bangsa di masa-masa selanjutnya?
Akankah HMI dan Alumninya kompak ketika menghadapi penguasa korup dan
sewenang-wenang sebagaimana yang sering dimunculkan media massa
akhir-akhir ini? Dan apakah HMI akan “galak” pada koruptor yang pernah
mengikuti LK-1 di HMI? Mari kita lihat dan tungggu saja kiprah HMI
memberantas penyakit bernama “korupsi” tersebut. (*)
No comments:
Post a Comment