Friday, June 17, 2016

PERANG DIPONEGORO(1825-1830) | ilmusaudarana

Sebab-sebab Terjadinya Perang di Ponegoro
Perang Diponegoro (1825-1830)
Setelah Belanda menderita kekalahan dalam Peperangan era Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.

Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.

Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro (RM Ontowiryo). Hal ini membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Ia kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut. Namun Belanda tetap memasang patok-patok tersebut bahkan yang sudah jatuh sekalipun. Karena kesal, Pangeran Diponegoro mengganti patok-patok tersebut dengan tombak.

Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau di Tegalrejo. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro maka pasukan belanda membakar habis kediaman Pangeran Diponegoro.
Tidak ada pilihan yang lain maka, Perang diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830 merupakan perjuangan dalam melawan pemerintahan belanda juga dilakukan di jawa, seperti yang dilakukan pangeran diponegoro.
Sebab umum terjadinya perang diponegoro adalah sebagai berikut:
Daerah kerajaan makin dipersempit
Kaum bangsawan dilarang menyewakan tanahnya kepada pengusaha-pengusaha swasta
Rakyat dibelit berbagai bentuk pajak dan pungutan
Pihak keraton yogyakarta tidak berdaya menghadapi campur tangan politik pemerintah kolonial
Pihak keraton hidup mewah dan tidak memedulikan penderitaan rakyat, sementara rakyat dilanda kemiskinan.
Adapun sebab khusus terjadinya perang diponegoro adalah sebagai berikut:
Pangeran diponegoro tersingkir dari elite kekuasaan karena menolak berkompromi dengan pemerintah kolonial. Pangeran diponegoro memilih mengasingkan diri ke tegalrejo.
Pemerintah kolonial melakukan profokasi dengan membuat jalan yang menerobos makam leluhur pangeran diponegoro
Hal tersebut lah yang membuat pangeran diponegoro marah dan menganggap nya sebagai suatu penghinaan. Untuk memperkuat kekuasaannya, pangeran diponegoro membangun pusat pertahanan di selarong. Dukungan pada pangeran diponegoro datang dari mana mana sehingga pasukan diponegoro semakin kuat. Dukungan datang dari pangeran mangkubumi, sentot alibasya prawirodirjo, dan kiai mojo. Dari pihak belanda untuk menghadapi perlawanan pangeran diponegoro mendatangkan pasukan di sumatera barat dan sulawesi selatan di bawh pimpinan jenderal marcus de kock.

Pangeran diponegoro memimpin pasukannya dengan perang gerilya.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro mendapat dukungan dari rakyat, ulama dan juga kaum bangsawan. Dari kaum bangsawan ada Pangeran Mangkubumi, Pangeran Joyokusumo dan lain-lain. Sementara dari kaum ulama ada Kiai Mojo, Haji Mustopo, Haji Badaruddin dan Alibasha Sentot Prawirodirdjo.
Dalam usaha membangkitkan semangat juang, Kiai Mojo selalu membakar keberanian para pejuang. Beliau menetapkan bahwa tujuan perang ini adalah Jihad yang harus dilakukan semua umat Islam untuk melawan orang-orang yang menyebabkan penderitaan dan kehancuran disegala bidang.

    Pada tahun 1825-1826, pasukan Pangeran Diponegoro mendapat banyak kemenangan. Daerah Pacitan berhasil dikuasai pada tanggal 6 Agustus 1825, menyusul kemudian Purwodadi pada tanggal 28 Agustus 1825. Pertempuran semakin meluas meliputi Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang, Madiun, Kertosono dan lain-lain. Pangeran Diponegoro menugaskan Pangeran Adiwinoto dan Mangundipuro memimpin perlawanan di daerah Kedu, Pangeran Abubakar dan Tumenggung Joyomustopo, mengadakan perlawanan di daerah Lowanu, sedangkan untuk daerah Kulonprogo diserahkan kepada Pangeran Adisuryo dan anaknya Pangeran Sumenegoro untuk memimpin perjuangan, Tumenggung Cokronegoro di wilayah Gemplong, untuk wilayah sebelah utara kota Jogjakarta perjuangan dikomandoi oleh paman Diponegoro yaitu Pangeran Joyokusumo, beliau dibantu oleh Tumenggung Surodilogo, di bagian timur kota Jogjakarta diembankan kepada Suryonegoro dan Suronegoro,  markas besar di selarong dipimpin oleh Joyonegoro Sumodiningrat dan juga Joyowinoto, sedangkan untuk daerah Gunung kidul dipimpin oleh Pangeran Singosari dan Warsokusumo, di daerah Pajang  pimpinan perang diembankan kepada Mertoloyo, Wiryokusumo, Sindurejo dan Dipodirjo, di daerah sukowati juga ditempatkan pasukan perlawanan yang dipimpin oleh Kartodirjo, wilayah strategis Semarang dipimpin oleh Pangeran Serang, sedangkan untuk daerah Madiun, Magetan dan Kediri,dipimpin oleh Mangunnegoro,

Pada tanggal 28 Juli 1826 pasukan Alibasha Sentot Prawirodirdjo mendapat kemenangan diwilayah Kasuran. Pada tanggal 30 Juli 1826 Pangeran Diponegoro memenangkan pertempuran di wilayah Lengkong. Kemudian tanggal 28 Agustus 1826, Pangeran Diponegoro mendapat kemenangan yang gemilang di Delanggu. Oleh rakyat, Pangeran Diponegoro diangkat menjadi sultan dengan gelar Sultan Abdulhamid Cokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Kalifatullah Tanah Jowo.

Tidak terhitung berapa kerugian yang diderita oleh Belanda akibat perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro. Kekalahan demi kekalahan dialami oleh pasukan Belanda dalam menghadapi perang gerilya. Akhirnya pada tahun 1827, Jenderal De Kock menggunakan siasat Benteng Stelsel. Siasat ini untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dengan jalan membangun benteng-benteng sebagai pusat pertahanan dan untuk memutuskan hubungan pasukan Diponegoro dengan daerah lain.

Belanda juga mendatangkan bala bantuan dari Sumatra Barat untuk menghadapi perlawanan pasukan Diponegoro. Taktik lain yang digunakan Belanda untuk melemahkan pasukan Pangeran Diponegoro adalah mendekati para pimpinan pasukan  agar mau menyerah dan memihak Belanda. Siasat ini berhasil, Pangeran Notodiningrat putra Pangeran Mangkubumi menyerah  pada tanggal 18 April 1828. Pangeran Aria Papak menyerah pada bulan Mei 1828. Kemudian pada tanggal 31 Oktober 1828, Kiai Mojo berunding dengan Belanda. Perundingan dilakukan di desa Mlangi. Perundingan gagal dan Kiai Mojo ditangkap kemudian diasingkan ke Minahasa sampai akhirnya wafat pada tahun 1849

Pemimpin lainnya yang masih gigih berjuang adalah Alibasha Sentot Prawirodirdjo. Pada tanggal 20 Desember 1828 berhasil menyerang benteng Belanda di daerah Nanggulan. Untuk menghadapi perlawanan Sentot, Jenderal De Kock melakukan pendekatan agar ia mau berunding. Belanda kemudian minta bantuan dari Pangeran Ario Prawirodiningrat, bupati Madiun untuk membujuk Sentot. Usaha ini berhasil, pada tanggal 17 Oktober 1829 diadakan perundingan perdamaian dengan syarat : Sentot tetap menjadi pemimpin pasukan dan pasukannya tidak dibubarkan, selain itu ia dan pasukannya tetap diperbolehkan memakai sorban. Pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot dan pasukannya memasuki kota Jogjakarta. Kemudian oleh Belanda dikirim ke Sumatra Barat. Karena ia kemudian bergabung dengan kaum Padri, Sentot lalu ditangkap dan dibuang ke Cianjur, kemudian dipindahkan ke Bengkulu sampai akhirnya meninggal tahun 1855.
Pihak Belanda, Untuk mengatasi perlawanan diponegoro tersebut, gubernur jenderal van der capellen menugasi jenderal marcus de kock untuk menjalankan strategi benteng stelsel, yaitu mendirikan benteng di setiap tempat yang dikuasainya. Antar benteng yang satu dan benteng lainnya dihubungkan dengan jalan untuk memudahkan komunikasi dan pergerakan pasukan. Taktik benteng stelsel ini bertujuan untuk mempersempit ruang gerak pasukan diponegor. Pasukan diponegoro semakin bertambah lemah terlebih lagi pada tahun 1829 kiai mojo dan sentot alibasya prawirodirjo memisahkan diri. Lemahnya kedudukan diponegoro tersebut menyebabkan ia menerima tawaran berunding dengan belanda di magelang.
Dalam perundingan tersebut, pihak belanda diwakili oleh jenderal de kock. Perundingan tersebut gagal mencapai sepakat, kemudian belanda menangkap pangeran diponegoro dan di bawa ke batavia, yang selanjutnya di pindahkan ke menado, kemudian dipindahkan lagi ke makassar dan meninggal di benteng rotterdam pada tanggal 8 januari 1855.
Dengan menyerahnya Sentot, kekuatan Pangeran Diponegoropun semakin berkurang. Apalagi setelah putranya yang bernama Pangeran Dipokusumo menyerah pada Belanda di tahun 1830. Walaupun sudah banyak yang menyerah tetapi Pangeran Diponegoro masih tetap bertahan melakukan perlawanan. Pada tanggal 21 September 1829 Belanda mengeluarkan pengumuman bahwa siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro akan mendapat hadiah 20.000 ringgit. Tetapi usaha ini tidak berhasil.
Setelah berjuang dengan gigih akhirnya Pangeran Diponegoro bersedia berunding dengan Belanda. Pada tanggal 8 Maret 1830 dengan pasukannya yang masih setia telah memasuki wilayah Magelang. Tetapi Pangeran Diponegoro minta perundingan diundur karena bertepatan dengan bulan Ramadhan.
Pertemuan pertama antara Pangeran Diponegoro dengan pihak Belanda yang diwakili Kolonel Cleerens dilakukan pada tanggal 16 Februari 1830 didesa Remo Kamal, ditetapkan apabila perundingan mengalami kegagalan, Pangeran Diponegoro diperkenankan kembali ke markasnya.
Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan berikutnya dilakukan di rumah Residen Kedu. Perundingan tidak mencapai kata sepakat. Jenderal De Kock ternyata mengingkari janjinya karena pada saat Pangeran Diponegoro hendak meninggalkan meja perundingan, beliau ditangkap oleh pasukan Belanda. Hari itu juga Pangeran Diponegoro diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
Pada tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis. Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. Tanggal 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnoningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam. Pada tahun1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. Pada 8 Januari 1855 Pangeran Diponegoro wafat dan dimakamkan di Makassar.
Akibat perang ini, Perang diponegoro yang berlangsung selama lima tahun tersebut membawa dampak antara lain sebagai berikut: Belanda menderita kerugian yang sangat besar. Dan merupakan perang yang paling menguras tenaga dan biaya. Tercatat setidaknya 8.000 prajurit Belanda tewas dan sekitar 7.000 penduduk pribumi menjadi korban perang ini serta kurang lebih 20.000 gulden habis untuk membiayai perang ini.

    Kekuasaan wilayah yogyakarta dan surakarta berkurang
    Belanda mendapatkan beberapa wilayah yogyakarta dan surakarta
    Banyak menguras kas belanda
Atas perjuangan beliau pemerintah menetapkan Pangeran Diponegoro sebagai Pahlawan Nasional.
Dari beberapa uraian tersebut maka penulis menilai bahwa perlawanan yang dilakukan Pangeran diponegoro untuk melawan penjajah Belanda, adalah suatu gambaran buat generasi penerus bahwa untuk menghadapi tantangan baik dari dalam maupun dari luar disatu sisi dibutuhkan persatuan yang kokoh dan idealis. Disisi lain ilmu pengetahuan dan kecerdasan yang konstruktif tidak kalah pentingnya. 
Sumber ;
Soewarso Ibnoe .1977. Pelajaran Sejarah, Widya Duta. Surakaerta.
Purwanto Edi N Drs. 1987. Sejarah Nasional Dan Dunia. Armico.Yogyakarta.  

1 comment:

  1. https://drive.google.com/file/d/0B6ut4qmVOTGWMkJvbFpZejBQZWM/view?usp=drivesdk

    Web: almawaddah.info

    Salam


    Kepada:

     

    Redaksi, rektor dan para akademik


    Per: Beberapa Hadis Sahih Bukhari dan Muslim yang Disembunyikan


    Bagi tujuan kajian dan renungan. Diambil dari web: almawaddah. info

    Selamat hari raya, maaf zahir dan batin. 


    Daripada Pencinta Islam rahmatan lil Alamin wa afwan

    ReplyDelete